Wawasan Kepemiluan

Incumbent dalam Dunia Politik: Keunggulan, Tantangan, dan Etika Demokrasi

Incumbent atau Petahana adalah orang yang saat ini sedang menjabat suatu posisi atau jabatan resmi terutama dalam konteks Politik atau pemerintahan yang ikut kembali dalam pencalonan untuk memperebutkan posisi yang sama pada pemilu atau pilkada berikutnya seperti seorang bupati atau walikota yang masih menjabat ikut kembali dalam pemilihan bupati selanjutnya. Pada setiap pegelaran pesta Politik, istilah Incumbent atau Petahana selalu menjadi pusat perhatian karena mereka yang sudah menduduki jabatan publik dianggap memiliki keunggulan alami dibandingkan penantangnya. Namun, posisi itu juga memiliki risiko dan tantangan tersendiri, khususnya dalam konteks Demokrasi di Indonesia yang terus berkembang. Fenomena Politik Incumbent bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dijalankan, dipertahankan, dan dipertanggungjawabkan.

Apa yang menjadi Keunggulan Seorang Incumbent atau Petahana ?

Secara sederhana, Incumbent memiliki “modal awal” yang sulit disaingi: popularitas, jaringan birokrasi, dan rekam jejak yang sudah dikenal publik. Dalam Politik elektoral, ketenaran dan kedekatan dengan masyarakat menjadi faktor penting. Petahana biasanya sudah memiliki akses terhadap sumber daya pemerintah, baik secara simbolik maupun praktis  misalnya melalui kegiatan resmi, kebijakan populis, atau program pembangunan yang dapat meningkatkan citra positif di mata pemilih.

Data yang dirilis IPI pada Mei 2025 bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Prabowo Subianto mencapai 82,7% (sampel 1.286 responden, 17-20 Mei 2025) dimana data sebelumnya menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintahan Petahana masih tinggi. Dengan anggapan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dianggap sebagai kelanjutan pemerintahan Petahana dan mampu memimpin lebih baik dari kondisi saat ini. Ini menunjukkan bahwa brand “Petahana” sering diasosiasikan dengan stabilitas dan kesinambungan kebijakan, yang menjadi daya tarik bagi sebagian besar pemilih. Di tingkat daerah, fenomena serupa juga terlihat baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga ini menggambarkan bahwa keunggulan Incumbent tetap nyata selama mereka mampu menjaga kinerja dan kepercayaan publik.

Meskipun demikian, keunggulan ini sering menimbulkan perdebatan etis, seperti “Apakah adil jika seorang Incumbent memiliki akses lebih besar terhadap media, aparat, atau anggaran publik dibandingkan penantangnya?” Di sinilah garis tipis antara keunggulan wajar dan penyalahgunaan kekuasaan mulai dipertanyakan.

Bagaimana Tantangan dan Risiko Politik bagi Incumbent atau Petahana ?

Menjadi Petahana bukan berarti bebas dari risiko. Justru, ekspektasi publik terhadap mereka jauh lebih tinggi. Setiap kebijakan, keputusan, dan pernyataan akan diawasi secara ketat. Kesalahan kecil dapat menjadi amunisi Politik bagi lawan. Beban secara psikologis juga besar terutama dalam situasi Politik yang kompetitif. Jika masa jabatan sebelumnya dianggap gagal atau kontroversial, maka popularitas Incumbent bisa berubah menjadi bumerang. Publik tidak lagi menilai dari janji, tetapi dari hasil nyata.

Fenomena ini dapat dilihat pada Pilkada Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Survei LSI Denny JA pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa pasangan non-Incumbent Warsubi–Salmanudin Yazid meningkat elektabilitasnya dari 53,9% menjadi 60%, sedangkan pasangan Incumbent Mundjidah Wahab–Sumrambah mengalami penurunan dukungan. Kasus ini membuktikan bahwa status Petahana bukan jaminan kemenangan; justru bisa menjadi beban jika masyarakat merasa tidak puas.

Hal senada juga ditemukan dalam penelitian akademis di Kota Palu tentang perilaku pemilih terhadap calon legislatif Incumbent yang ditulis oleh Irwansyah Kamindang, Meldi Amijaya, dan Nurhayati Hamid (Universitas Tadulako). Studi tersebut menyimpulkan bahwa kandidat Petahana memang memiliki modal sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik yang kuat, namun semua itu tidak cukup tanpa dukungan kinerja nyata dan persepsi positif masyarakat. Dengan kata lain, kekuasaan yang sudah dimiliki justru dapat menjadi ujian yang berat jika tidak diimbangi dengan prestasi.

Selain itu, banyak Petahana terjebak dalam “Politik pencitraan”. Alih-alih fokus pada pelayanan publik, mereka cenderung lebih sibuk membangun persepsi positif menjelang masa kampanye. Fenomena ini dapat mengaburkan fungsi utama pemerintahan dan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap institusi Politik.

Bagaimana Aturan Incumbent atau Petahana dalam aspek Etika dan Demokrasi di Indonesia ?

Ketentuan mengenai incumbent atau petahana di Indonesia diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang bersih, adil, dan berintegritas. Dasar hukumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta beberapa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa seorang petahana tidak diperbolehkan memakai fasilitas negara, dana pemerintah, atau program kegiatan daerah untuk kepentingan politik maupun kampanye pribadi. Selain itu, petahana dilarang melakukan mutasi atau penggantian pejabat dalam waktu enam bulan sebelum penetapan calon hingga akhir masa jabatan, kecuali memperoleh izin tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Selama periode kampanye, incumbent atau petahana diwajibkan mengambil cuti di luar tanggungan negara, sementara tugas pemerintahan dijalankan oleh pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk. Ketentuan ini dibuat untuk mencegah penggunaan jabatan publik sebagai alat politik atau sarana mempertahankan kekuasaan. Jika incumbent atau petahana melanggar aturan tersebut, KPU berhak menjatuhkan sanksi administratif hingga pembatalan pencalonan, sedangkan Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran.

Secara keseluruhan, pengaturan ini dimaksudkan untuk menjaga keadilan dalam kontestasi politik, menjamin netralitas pejabat publik, serta melindungi nilai-nilai demokrasi. Dengan adanya aturan tersebut, setiap calon baik itu incumbent maupun penantang diharapkan memiliki kesempatan yang setara untuk bersaing secara sehat tanpa adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperketat aturan terkait kampanye di sekolah dan fasilitas pemerintah, guna mencegah Petahana menggunakan sumber daya publik secara terselubung. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan potensi konflik kepentingan sudah mulai mendapat perhatian serius dalam kerangka etika Demokrasi.

Selain itu peraturan dan pengawasan oleh penyelenggara pemilu, keberadaan media dan masyarakat juga penting, sebab pengawasan publik yang kritis dapat menjadi penyeimbang antara hak Politik Incumbent dan prinsip keadilan pemilu. Demokrasi tidak hanya diukur dari siapa yang menang, tetapi juga dari seberapa adil prosesnya dijalankan.

Bagaimana Masa Depan Politik Incumbent atau Petahana di Indonesia ?

Fenomena Incumbent menunjukkan bahwa Politik tidak pernah sepenuhnya hitam atau putih. Ada Petahana yang sukses karena kinerja nyata dan integritas tinggi, tetapi ada pula yang bertahan karena memanfaatkan celah kekuasaan.

Masa depan Politik Indonesia akan ditentukan oleh bagaimana publik menilai dan mengawasi para Petahana ini. Jika masyarakat semakin kritis dan sadar akan pentingnya integritas, maka posisi Incumbent akan menjadi ujian, bukan jaminan kemenangan. Sebaliknya, jika Politik masih dilihat sebagai ajang popularitas dan kekuasaan, maka Demokrasi kita berisiko stagnan dalam siklus lama: yang berkuasa akan terus berkuasa, bukan karena prestasi, tetapi karena posisi.

Pada akhirnya, keberadaan Incumbent seharusnya menjadi simbol keberlanjutan dan stabilitas, bukan alat mempertahankan kekuasaan semata. Demokrasi yang sehat menuntut keseimbangan antara hak individu untuk maju kembali dan hak publik untuk mendapatkan kompetisi Politik yang adil dan bermartabat.

Baca juga: SIMPAW : Aplikasi KPU dibalik Administrasi Penggantian Antar Waktu (PAW)

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 193 kali