Wawasan Kepemiluan

Sistem Noken dalam Pemilu dan Pilkada: Mengaburkan Hak Disabilitas

Pengertian Sistem Noken

Sistem noken merupakan metode khas dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada di sejumlah daerah pegunungan Papua, yang diakui Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk kearifan lokal. Dalam praktiknya, sistem ini menggantikan mekanisme pemungutan suara langsung dengan sistem perwakilan komunitas atau penyerahan suara melalui kepala suku. Pengakuan tersebut pertama kali ditegaskan dalam Putusan MK Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, yang menyatakan bahwa sistem noken adalah bagian dari hak masyarakat adat yang harus dihormati sesuai dengan prinsip konstitusional pengakuan terhadap keberagaman.

Namun, dalam konteks demokrasi modern dan pemenuhan hak asasi manusia, muncul persoalan serius, apakah sistem noken juga menjamin hak politik kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas, untuk berpartisipasi secara bebas, setara, dan langsung?

Landasan Hukum dan Prinsip Inklusivitas Pemilu

Secara normatif, Pemilu dan Pilkada di Indonesia diatur untuk menjamin partisipasi universal.

  • Pasal 22E UUD 1945 menjamin pemilu yang “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER-JURDIL)”.
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mewajibkan penyelenggara pemilu untuk menyediakan akses bagi pemilih disabilitas.
  • Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) yang telah diratifikasi melalui UU No. 19 Tahun 2011, menegaskan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang setara untuk memilih dan dipilih, dengan akomodasi yang layak.

Dalam kerangka tersebut, sistem Pemilu seharusnya menjamin otonomi pilihan individu, bukan kolektif. Prinsip ini menjadi inti dari partisipasi politik yang bermartabat dan nondiskriminatif.

Analisis Hukum & Kebijakan

  • Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan PKPU No. 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih, KPU wajib memastikan pemilih disabilitas difasilitasi untuk menggunakan hak pilihnya secara mandiri dan rahasia.
  • Namun, dalam konteks Sistem Noken, prinsip “one person, one vote” berpotensi tergeser oleh “one leader, many votes”, yang tidak selaras dengan semangat kesetaraan pemilih disabilitas.
  • Hal ini menciptakan tumpang tindih antara pengakuan adat dan pemenuhan HAM (hak memilih secara individu).

Sistem Noken: Dari Representasi Adat ke Delegasi Kolektif

Sistem noken pada dasarnya dibangun atas asas musyawarah adat di mana masyarakat satu kampung menyerahkan keputusan politik kepada kepala suku untuk memilih atas nama mereka. Dalam praktik di lapangan, noken digunakan sebagai wadah suara baik secara simbolik (noken sebagai tempat surat suara) maupun substantif (noken sebagai sistem perwakilan kolektif).

Meskipun sistem ini diakui untuk menjaga stabilitas sosial dan menghormati budaya lokal, mekanisme kolektif tersebut meniadakan ekspresi politik individual, termasuk bagi penyandang disabilitas. Mereka yang memiliki hambatan fisik, sensorik, atau intelektual tidak mendapat ruang aktualisasi dalam pengambilan keputusan, karena hak mereka dilebur ke dalam keputusan komunitas.

Namun, dalam konteks hak disabilitas, sistem ini menimbulkan tantangan serius bagi partisipasi langsung dan mandiri.

 

 Masalah Utama Sistem Noken yang Teridentifikasi

Aspek

Permasalahan

Dampak terhadap Pemilih Disabilitas

Representasi Suara

Dalam sistem noken, suara diwakilkan oleh kepala suku.

Pemilih disabilitas tidak memiliki kontrol pribadi atas pilihan politiknya.

Akses Fisik TPS

Banyak lokasi sulit dijangkau atau tidak ramah kursi roda.

Penyandang disabilitas fisik sulit hadir langsung untuk memilih.

Fasilitas Inklusif

Minimnya surat suara braille, pendampingan resmi, dan edukasi pemilih disabilitas.

Pemilih netra dan tuli sulit memahami proses dan haknya.

Data dan Pendataan

Data disabilitas masih kecil (38 orang dari seluruh kabupaten).

Menunjukkan potensi underreporting atau tidak semua disabilitas terdata.

 

Disabilitas dan Ketimpangan Hak dalam Sistem Noken

Wilayah

Fisik

Intelektual

Mental

Sensorik Wicara

Sensorik Rungu

Sensorik Netra

Kobagma

15

0

0

0

0

0

Kelila

8

1

1

2

0

6

Eragayam

3

0

0

0

1

0

Megambilis

0

0

0

0

0

1

Ilugwa

0

0

0

0

0

0

Kolom Rekapitulasi jumlah panyandang disabilitas 2024 di Kabupaten Mamberamo Tengah

Dalam masyarakat adat yang masih sangat hierarkis, suara individu, terutama mereka yang dianggap “lemah” atau “tidak produktif” sering kali tidak diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan politik. Penyandang disabilitas menjadi kelompok paling rentan kehilangan haknya karena:

  1. Tidak ada jaminan keterlibatan langsung. Kepala suku sebagai representasi komunitas mengambil keputusan tanpa memastikan aspirasi kelompok disabilitas.
  2. Tidak tersedia akomodasi khusus. KPU daerah sering kali tidak menyediakan fasilitas pemungutan suara aksesibel di wilayah sistem noken, dengan alasan semua suara diwakilkan.
  3. Stigma sosial terhadap disabilitas. Dalam beberapa komunitas adat, penyandang disabilitas masih dipandang sebagai individu yang tidak layak menentukan pilihan politik sendiri.

Dengan demikian, sistem noken tidak hanya mengaburkan hak individu, tetapi juga menghapus jejak partisipasi disabilitas dari proses demokrasi di tingkat lokal.

Sistem Noken, Perspektif Hak Asasi dan Konstitusional

Jika dilihat dari sudut pandang hak konstitusional, sistem noken menghadirkan tensi antara hak kolektif masyarakat adat dan hak individual warga negara. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 memang mengakui hak masyarakat adat, namun pengakuan tersebut bersyarat: selama masih hidup dan sesuai dengan prinsip negara kesatuan serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.

Dengan demikian, pengakuan sistem noken tidak boleh mengesampingkan hak-hak dasar individu, terutama hak untuk memilih secara langsung dan mandiri. Ketika hak kolektif adat meniadakan hak individu penyandang disabilitas, maka terjadi pelanggaran terhadap prinsip equality before the law (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945) dan nondiskriminasi (Pasal 28I ayat (2) UUD 1945).

Rekomendasi Reformasi Sistem Noken

Untuk menyeimbangkan penghormatan terhadap kearifan lokal dan perlindungan hak disabilitas, beberapa langkah dapat ditempuh:

  1. Model Hybrid (Campuran): Tetap mempertahankan simbol noken sebagai identitas budaya, namun pemungutan suara dilakukan langsung oleh individu dengan sistem yang lebih inklusif dan aksesibel.
  2. Regulasi Teknis KPU: Revisi PKPU tentang tata cara pemungutan suara di daerah sistem noken agar mencakup akomodasi disabilitas, seperti TPS aksesibel dan pendampingan netral.
  3. Pendidikan Pemilih Adat dan Disabilitas: Penyelenggara pemilu perlu melakukan pendidikan pemilih berbasis komunitas yang menekankan pentingnya hak suara individu.
  4. Monitoring Independen oleh Bawaslu dan LSM HAM: Diperlukan mekanisme pengawasan khusus di wilayah sistem noken untuk memastikan tidak terjadi diskriminasi dan manipulasi suara.

Rekomendasi Kebijakan Sistem Noken

  1. Integrasi Sistem Noken Inklusif. Kepala suku tetap menjadi simbol representatif, namun setiap pemilih disabilitas diberi kesempatan untuk memberi tanda pilih pribadi dengan pendampingan resmi dari KPPS atau orang yang dipercaya penyandang disabilitas tersebut.
  2. Pemetaan Disabilitas Berbasis Kampung. Dinas Sosial dan KPU perlu membuat data lintas sektor agar penyandang disabilitas tidak terlewat dalam DPT.
  3. TPS Aksesibel dan Edukasi Khusus. Menyediakan TPS ramah kursi roda dan bimbingan pemilih disabilitas sebelum hari pemungutan suara.
  4. Kolaborasi dengan Komunitas Lokal. Libatkan tokoh adat dan gereja dalam edukasi hak disabilitas agar tidak bertentangan dengan norma budaya setempat.
  5. Monitoring Independen. Bawaslu dan organisasi disabilitas (mis. PPUA-AKSES, HWDI, PPDI) dilibatkan dalam pemantauan praktik noken untuk memastikan hak disabilitas tidak hilang di balik sistem kolektif.

Sistem noken adalah simbol penghormatan terhadap pluralitas bangsa, namun pluralitas tidak boleh menjadi alasan untuk meniadakan hak asasi individu. Dalam demokrasi konstitusional, kebudayaan harus beriringan dengan hak asasi, bukan menindihnya.
Jika sistem noken tidak direformasi untuk menjamin akses setara bagi penyandang disabilitas, maka demokrasi di tanah Papua akan tetap berjalan tanpa sebagian warganya.

Data KPU Mamberamo Tengah memperlihatkan bahwa pemilih disabilitas memang sudah mulai teridentifikasi, namun masih minim dan belum sepenuhnya terfasilitasi dalam konteks sistem noken.
Tantangan utamanya bukan hanya teknis (akses TPS), tetapi struktural dan kultural, di mana sistem kolektif tradisional masih belum cukup adaptif terhadap prinsip inklusi pemilu modern.

(Parlindungan SimanjuntakAnggota KPU Kabupaten Mamberamo Tengah Kordiv Hukum dan Pengawasan)

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 41 kali