Mengulik Presidential Threshold: Mengapa Aturan Ini Begitu Kontroversial di Setiap Pemilu
Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden telah menjadi salah satu isu paling krusial dalam arsitektur pemilihan presiden di Indonesia sejak era reformasi. Aturan yang mensyaratkan dukungan minimal partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden ini bukan hanya menentukan siapa yang dapat bertarung dalam kontestasi elektoral, tetapi juga membentuk peta kekuatan politik nasional.
Seiring penyelenggaraan pemilu langsung sejak 2004 hingga 2024, presidential threshold memunculkan berbagai dinamika mulai dari konsolidasi koalisi besar, penyederhanaan kontestan, hingga tudingan bahwa aturan ini menghalangi regenerasi kepemimpinan dan mengurangi ruang kompetisi. Perdebatan semakin mencuat ketika Mahkamah Konstitusi berkali-kali menerima gugatan uji materi atas aturan tersebut, tetapi tetap mempertahankannya dengan berbagai pertimbangan hukum dan politik. Dalam konteks inilah penting untuk menelaah kembali sejarah, dasar hukum, dampak elektoral, serta kontroversi mengenai presidential threshold yang merupakan sebuah mekanisme yang terus menjadi perdebatan publik setiap kali Indonesia memasuki tahun politik.
Apa Itu Presidential Threshold?
Presidential threshold adalah ketentuan yang menetapkan ambang batas minimal bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden–wakil presiden dalam pemilihan umum. Artinya, tidak semua partai yang mengikuti pemilu bisa serta-merta mengusung calon presidennya, melainkan hanya partai atau gabungan yang memenuhi kriteria tertentu, misalnya persentase kursi di parlemen atau persentase perolehan suara nasional yang diberi hak mengajukan calon.
Dalam kerangka demokrasi perwakilan dan sistem multipartai di Indonesia, presidential threshold dimaksudkan sebagai cara untuk menyaring dan menyeleksi calon-calon secara kolektif melalui partai politik sebelum dipresentasikan kepada rakyat. Dengan demikian, partai bertindak sebagai filter awal untuk memastikan calon memiliki basis dukungan politik yang cukup, namun aturan ini tidak hanya soal teknis, melainkan juga menyentuh aspek prinsip siapa yang berhak mencalonkan presiden dan bagaimana hak politik itu dibatasi atau dibuka luas. Itulah kenapa presidential threshold menjadi sumber perdebatan panjang di Indonesia.
Sejarah dan Besaran Presidential Threshold di Indonesia
Perjalanan penerapan presidential threshold di Indonesia telah mengalami evolusi sejak pertama kali Indonesia menggelar Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung pada 2004. Berikut kronologi dan perubahan besaran:
- Pemilu 2004
- Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
- Dalam Pasal 5 ayat (4) UU tersebut disebutkan syarat: partai/gabungan harus memiliki minimal 15% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional untuk bisa mengusulkan pasangan calon. Namun, regulasi inilah yang awalnya dipandang akan berlaku akan tetapi dalam praktek untuk Pilpres 2004 ada ketentuan transisi (peralihan) karena pemilu legislatif dan pemilu presiden belum pernah digelar bersama sebelumnya.
- Pilpres 2004 akhirnya diikuti oleh beberapa calon, dan dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
- Pemilu 2009
- Setelah revisi aturan, besaran ambang disesuaikan melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
- threshold menjadi minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk mengajukan pasangan calon
- Dengan syarat tersebut, pada Pilpres 2009 jumlah pasangan calon terbatas.
- Pemilu 2014 - Aturan dari UU Nomor 42 Tahun 2008tetap dipakai. Artinya threshold masih: 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Pada Pemilu 2014, ambang ini diterapkan dalam upaya seleksi pasangan calon.
- Pemilu 2019 - Pemilu serentak pertama untuk legislatif dan presiden digelar bersamaan. Oleh karena itu, syarat ambang tetap mengacu pada hasil legislatif sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal 222 Undang-Undang ini menetapkan 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional bagi partai atau gabungan untuk mengusung capres dan cawapres. Akibat adanya threshold, Pilpres 2019 hanya diikuti dua pasangan calon.
- Pemilu 2024 - Masih menggunakan aturan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Namun, tahun 2025 menjadi titik balik penting karena perubahan besar melalui putusan konstitusional.
Bagaimana Perubahan Terkini terkait Penghapusan Presidential Threshold oleh MK Tahun 2025?
Pada 2 Januari 2025, MK dalam putusan untuk perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (yang mengatur presidential threshold) bertentangan dengan UUD 1945 dan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Dengan demikian, syarat ambang pencalonan presiden dan wakil presiden melalui partai/koalisi (20% kursi atau 25% suara) resmi dihapus. Semua partai politik peserta pemilu kini dinyatakan berhak mengajukan calon presiden/ wakil presiden, tanpa syarat minimal kursi/ suara. Putusan ini menandai babak baru demokrasi yang membuka kembali akses pencalonan ke partai kecil atau partai baru.
Apa Tujuan Diberlakukannya Presidential Threshold?
Mengapa sejak awal bangsa ini menetapkan presidential threshold? Beberapa tujuan mendasar di antaranya:
- Stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Dengan memastikan calon didukung partai besar atau koalisi yang sudah memiliki basis legislatif cukup, diharapkan pemerintahan ke depan akan lebih stabil, dengan kemungkinan kerja sama legislatif dan eksekutif yang lebih mulus. Rawannya fragmentasi partai dan koalisi lemah dianggap bisa mengganggu kelangsungan pemerintahan.
- Menyederhanakan kontestasi politik. Indonesia memiliki banyak partai sehingga threshold diyakini dapat mencegah persaingan dengan terlalu banyak calon sehingga membingungkan pemilih, memecah suara, atau menimbulkan polarisasi berlebihan.
- Memfilter calon yang layak. Dengan syarat ambang, calon dari partai yang terbukti memiliki dukungan (kursi/ suara) di parlemen dianggap sudah melalui filter representasi politik sehingga diyakini lebih layak, kredibel, dan mampu menggalang dukungan luas.
- Menjaga sistem berdasarkan partai politik. Presidential threshold menegaskan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden hanya bisa dilakukan lewat partai politik atau koalisi, bukan perseorangan tanpa kendaraan partai. Hal ini sesuai visi sistem demokrasi perwakilan yang dibangun melalui partai politik.
Secara normatif, ketentuan ini juga dianggap sebagai “open legal policy” yaitu kebijakan hukum yang diperbolehkan berubah sesuai dinamika politik dan kebutuhan bangsa.
Analisis Kasus: Implikasi Presidential Threshold di Pemilu 2004–2024
Melihat sejarah penerapan threshold pada lima pemilu presiden langsung (2004, 2009, 2014, 2019, 2024), kita bisa membaca dampak nyata terhadap kontestasi politik dan dinamika partai:
Pada pemilu 2004, awal demokratisasi capres langsung dengan threshold 15% kursi atau 20% suara sementara berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2003, Pilpres 2004 berhasil menghadirkan beberapa pasangan calon, meskipun persyaratan ada akan tetapi masih cukup longgar untuk memungkinkan keberagaman calon.
Pemilu 2009 dan 2014, setelah ambang dinaikkan menjadi 20% kursi / 25% suara, jumlah pasangan calon menjadi lebih terbatas, yang dalam praktik mempersempit pilihan alternatif bagi pemilih. Ini membuat persaingan lebih “tertata” (terutama hanya partai besar atau koalisi besar yang punya kesempatan), tetapi juga mengurangi ruang bagi partai kecil atau calon independen.
Pemilu 2019 dan 2024, pemilu serentak dan konsolidasi dua pasangan calon. Dengan ambang yang sama tetapi dalam konteks pemilu legislatif dan presiden serentak (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017), threshold jadi sangat menentukan siapa bisa ikut capres. Akibatnya, Pilpres hanya diikuti dua pasangan calon sehingga mempersempit pilihan dan meningkatkan kemungkinan polarisasi karena pilihan publik terbagi dua besar.
Setelah 2025 (pasca putusan MK), potensi perubahan besar, dengan dihapuskannya threshold, maka partai kecil, partai baru, atau koalisi kecil kini secara konstitusional bisa mengajukan calon. Ini membuka kemungkinan pilihan lebih banyak bagi masyarakat, dan potensi munculnya alternatif di luar elit besar. Di sisi lain, ini juga bisa berdampak pada fragmentasi kandidat dan kompleksitas pemilu.
Secara keseluruhan, presidential threshold telah berfungsi sebagai penyaring kuat dalam setiap pemilu sejak 2009, membatasi calon yang muncul secara signifikan dibanding potensi multipartai yang besar di Indonesia.
Apa Dampak Presidential Threshold terhadap Partai Politik dan Demokrasi?
Penerapan presidential threshold dan kemudian penghapusannya telah membawa dampak beragam terhadap partai politik dan dinamika demokrasi di Indonesia. Beberapa dampak penting diataranya:
- Keuntungan bagi partai besar atau koalisi. Partai dengan basis kejayaan di DPR punya leverage besar. Mereka bisa mengusung calon sendiri tanpa perlu kompromi, sedangkan partai kecil seringkali dipaksa bergabung dalam koalisi untuk mencapai ambang. Ini memperkuat posisi oligarki partai besar dalam menentukan calon presiden.
- Menghambat partai kecil dan caleg independen. Partai baru atau kecil yang belum memiliki kursi/ basis suara memerlukan koalisi besar untuk ikut pencalonan yang kemudian dikatakan melemahkan kemerdekaan partai dan menimbulkan pragmatisme di belakang layar.
- Reduksi pluralitas pilihan bagi pemilih. Dengan sedikit calon yang memenuhi syarat, pemilih dihadapkan pada pilihan terbatas hanya dua alternatif besar. Ini bisa menghambat representasi aspirasi politik minoritas atau suara di luar arus utama.
- Stabilitas vs keterbukaan demokrasi. Presidential Threshold dimaksudkan untuk stabilitas dan efektivitas pemerintahan, tetapi di sisi lain membatasi akses politik. Sehingga terjadi trade off antara kebutuhan pemerintahan yang stabil dengan ideal demokrasi yang inklusif.
- Politik koalisi dan transaksi politik. Untuk memenuhi ambang, partai kecil jadi pemain kunci dalam pembentukan koalisi yang sering menuntut konsesi politik, posisi kabinet, atau pembagian kekuasaan, alih-alih berdasarkan ideologi atau platform. Ini memperkuat logika transaksional dalam politik dan melemahkan politik program atau kebijakan jangka panjang.
Dengan dihapuskannya threshold oleh MK, dinamika ini bisa berubah, potensi munculnya partai kecil atau baru dengan ide segar, tetapi juga potensi fragmentasi besar.
Bagaimana Kritik dan Kontroversi Presidential Threshold?
Sejak awal dirumuskan, presidential threshold telah menimbulkan berbagai kritik dari akademisi, aktivis, dan masyarakat sipil terutama yang berkaitan dengan prinsip demokrasi, kebebasan mencalonkan, dan hak politik. Berikut poin-poin utama kritik serta argumen kontra terkait presidential threshold
- Membatasi hak konstitusional partai dan rakyat. Kritikus berargumen bahwa syarat ambang membatasi hak partai untuk mencalonkan dan karenanya membatasi pilihan rakyat. Dalam putusan 2025, MK mengamini bahwa ambang bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.
- Berpotensi melahirkan oligarki partai besar. Karena hanya partai besar atau koalisi besar yang bisa mengajukan calon, sistem ini memberi keuntungan struktural bagi partai-parpol besar, sementara partai kecil terpinggirkan. Ini memperkuat elitisme politik dan menghambat regenerasi politik. Banyak pihak melihat ini sebagai praktik oligarki dalam demokrasi.
- Mengurangi pluralitas dan inklusivitas demokrasi. Dengan sedikit calon, ruang bagi kandidat alternatif misalnya dari partai baru, partai Islam minoritas, partai ideologis, atau platform non-mainstream sangat kecil. Akibatnya aspirasi minoritas bisa sulit terepresentasi, dan demokrasi menjadi “duopoli” elit besar.
- Open legal policy bukan hak konstitusional pasti. Sejumlah putusan awal MK menyatakan bahwa presidential threshold adalah “open legal policy” (kebijakan hukum terbuka) sehingga konstitusional selama dibuat undang-undang, namun interpretasi ini berarti bahwa legitimasi aturan bisa berubah sewaktu-waktu yang kemudian terjadi dengan penghapusan presidential threshold dan menunjukkan bahwa aturan itu tidak bersifat hak politik fundamental konstitusional tetap.
- Risiko polarisasi dan dua kutub politik. Dengan hanya dua calon besar, setiap pemilu cenderung menjadi pertarungan bipolar dan potensi polarisasi meningkat, dan pilihan publik terbelah tajam. Hal ini bisa menimbulkan polarisasi sosial-politik, sementara alternatif moderat atau tengah tersisih. MK dalam pertimbangannya juga menyebut bahwa ambang tersebut “berpotensi melahirkan dua pasangan calon” dan membatasi pilihan.
Karena kritik-kritik seperti ini yang terus digulirkan dalam hampir tiga dekade terakhir, terjadi lebih dari 30 kali uji materi atas ketentuan presidential threshold.
Akhirnya pada uji materi ke-33 (perkara 62/PUU-XXII/2024) MK mengubah posisi deklarasi bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berarti presidential threshold resmi dihapus.
Bagaimana Peluang dan Tantangan Setelah Penghapusan Presidential Threshold?
Dengan dihapuskannya presidential threshold, Indonesia memasuki fase baru demokrasi pencalonan presiden. Namun perubahan ini membawa peluang sekaligus tantangan
- Peluang / Keuntungan
- Akses lebih luas bagi partai kecil / baru / alternatif. Partai yang selama ini terpinggirkan kini memiliki jalur legal untuk mengusung calon presiden, memberi harapan bagi dinamika politik baru, munculnya wajah-wajah segar, dan perwakilan ideologis/aspiratif yang sebelumnya sulit maju.
- Peningkatan pluralitas pilihan bagi pemilih. Pemilu ke depan (misalnya 2029) bisa menghadirkan lebih banyak pasangan calon sehingga memberi ruang bagi pemilih dengan preferensi berbeda untuk memilih berdasarkan program, bukan sekadar pilihan dua kutub besar.
- Membuka ruang regenerasi dan kompetisi internal partai. Dengan lebih banyak partai bisa mengajukan calon, muncul insentif bagi partai untuk memperkuat struktur, program, dan kaderisasi bukan hanya bergantung pada koalisi besar.
- Tantangan / Risiko
- Fragmentasi kandidat dan potensi konstelasi kacau. Banyak calon bisa membuat pemilih bingung, memecah suara sehingga pemenang bisa dipilih dengan persentase kecil sehingga bisa mengurangi legitimasi.
- Biaya politik (kampanye, logistik) bisa melonjak. Dengan banyak calon, biaya kampanye dan kompetisi bisa meningkat, serta potensi mobilisasi uang, patronase, dan konflik lebih besar.
- Kesulitan membentuk pemerintahan stabil. Jika banyak calon dan partai kecil lolos, setelah pemilu pemerintahan bisa dipaksa membentuk koalisi luas atau longgar yang bisa menimbulkan ketidakpastian dan inkonsistensi kebijakan.
- Kebutuhan regulasi baru. Tanpa threshold, perlu mekanisme baru untuk menyaring calon supaya tetap realistis misalnya persyaratan dukungan publik (tanda tangan), ambang baru, atau mekanisme verifikasi lain agar kandidat benar-benar representatif.
Sejarah presidential threshold di Indonesia memperlihatkan dinamika panjang antara kebutuhan stabilitas dan tuntutan keterbukaan demokrasi. Sejak 2004 hingga 2024, threshold berfungsi sebagai penyaring yang membatasi calon hanya pada partai/koalisi besar dengan tujuan pemerintahan yang efektif, stabil, dan parsialitas politik terjaga. Namun pada akhirnya, mekanisme itu juga membatasi pluralitas, membungkam partai kecil dan aspirasi baru, serta memperkuat elitisme politik.
Dengan dihapuskannya threshold oleh MK pada awal 2025, Indonesia membuka pintu bagi demokrasi yang lebih inklusif dan kompetitif. Tetapi perubahan ini membawa tanggung jawab besar sehingga dibutuhkan regulasi baru yang adil, transparan, dan mampu menyeimbangkan antara kebebasan mencalonkan, representasi luas, dan keberlangsungan pemerintahan yang stabil.
Ke depan, yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana aturan pencalonan dimodelkan ulang, apakah melalui mekanisme dukungan rakyat (misalnya tanda tangan), ambang baru berbasis wilayah, atau sistem lain agar demokrasi tidak hanya terbuka luas, tetapi juga teratur, adil, dan kredibel.
Indonesia kini memasuki fase baru dari demokrasi dengan “pintu sempit ke Capres” menjadi demokrasi dengan “pintu lebih lebar.” Realisasi potensi ini sangat bergantung pada bagaimana aktor politik, legislator, masyarakat sipil, dan pemilih menyikapinya.
Baca juga: Pemilih Rasional: Fondasi Pemilu Demokratis dan Berintegritas