Wawasan Kepemiluan

Meningkatkan Literasi Digital sebagai Penanggulangan Disinformasi dalam Agenda Pemilu

Pemilu merupakan agenda wajib lima tahunan yang ada di Indonesia. Perkembangan zaman yang menuntut digitalisasi di berbagai lini kehidupan masyarakat juga mengubah skema pemilu dengan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Di era digital, penyelenggaraan pemilu tidak hanya berkutat pada kendala teknis dan penyelenggaraan. Namun, ancaman disinformasi yang ada di dunia digital merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi penyelenggara pemilu.

Berbagai bentuk ancaman seperti hoaks dan manipulasi opini publik di media sosial, berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap proses pemilu, memicu polarisasi, hingga menurunkan partisipasi pemilih. Oleh sebab itu, pentingnya literasi digital menjadi salah satu upaya dalam menanggulangi ancaman dan dampak yang terjadi dari arus informasi negatif yang marak adanya di tengah-tengah masyarakat.

Pentingnya Literasi Digital Saat Pemilu

Agenda pemilu yang menuntut transparansi dan keterbukaan informasi sangat mudah dimanipulasi oleh pihak tertentu. Dengan keterbukaan informasi menjadi hal yang wajib bagi penyelenggara pemilu untuk memberitakan dan memberikan informasi terhadap publik.

Namun, terkadang hal ini disalah gunakan oleh pihak lain sebagai bentuk penggiringan opini dan upaya mengacaukan pemilu. Dengan pemberitaan yang negatif dengan mengutip atau memotong informasi dari penyelenggara dan dikemas menjadi narasi negatif dapat menimbulkan gejolak di masyarakat. Karena itu, literasi digital dirasa sangatlah penting untuk memerangi arus disinformasi.

1. Melindungi Masyarakat dari Disinformasi dan Hoaks

Pada masa pemilu, sering terjadi disinformasi dan pemberitaan tidak benar yang didasari oleh agenda tertentu, Informasi palsu bisa berbentuk:

  • Tuduhan tanpa bukti terhadap penyelenggara pemilu.
  • Manipulasi hasil penghitungan suara.
  • Narasi menyerang pihak lain dalam pemilu.
  • Fitnah kandidat atau peserta pemilu.
  • Informasi ujaran kebencian untuk memecah belah masyarakat.

2. Meningkatkan Kepercayaan terhadap Penyelenggara Pemilu

Rendahnya literasi digital menyebabkan kerawanan pada masyarakat dalam hal pencegahan disinformasi. Narasi negatif dan tuduhan tanpa dasar kepada penyelenggara pemilu menyebabkan turunnya angka kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu. Selain itu, kepercayaan publik kepada hasil pemilu juga akan menurun. Oleh sebab itu, Pemilih yang memiliki literasi digital tinggi cenderung lebih kritis, tidak mudah terprovokasi, serta memahami cara kerja KPU dan Bawaslu secara objektif.

3. Menjaga Kualitas Demokrasi

Perkembangan demokrasi yang berkualitas tentunya berbanding lurus dengan pemilih dan masyarakat yang cerdas. Literasi digital memastikan masyarakat memiliki akses pada informasi yang benar, sehingga mereka dapat membuat keputusan politik secara rasional dan memilih pilihan secara objektif, bukan berdasarkan isu viral yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Bentuk-Bentuk Disinformasi dalam Pemilu

Untuk memahami urgensi literasi digital, masyarakat perlu mengenali bentuk-bentuk disinformasi yang sering muncul dalam agenda pemilu.

1. Konten Palsu

Berita yang dapat berdampak pada tingkat rasionalitas publik dengan data dan fakta yang tidak berdasar serta pembelokan informasi.

2. Manipulasi Visual

Foto dan video yang diedit untuk memberikan kesan tertentu, seperti hasil pemungutan suara palsu atau rekaman lama yang disebarkan seolah-olah baru terjadi.

3. Deepfake

Teknologi yang membuat wajah atau suara tokoh politik diubah dan melakukan tindakan yang tidak pernah terjadi. Semua bentuk ini sangat berbahaya jika pemilih tidak memiliki kemampuan literasi digital yang baik.

Strategi Meningkatkan Literasi Digital untuk Menangkal Disinformasi Pemilu

Untuk menjaga pemilih tetap berjalan dengan baik, maka perlu peningkatan literasi digital dengan beberapa langkah berikut:

1. Edukasi Publik melalui Media Sosial Resmi

Berbagai lembaga pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu aktif menyampaikan informasi akurat melalui platform digital seperti Instagram, YouTube, TikTok, dan Facebook. Konten harus dibuat menarik, mudah dipahami, dan berbasis data.

2. Program Literasi Digital di Sekolah dan Komunitas

Generasi muda adalah pengguna terbesar internet. Program workshop, kelas literasi digital, dan pelatihan pengecekan data dan fakta perlu ditingkatkan melalui sekolah, kampus, serta komunitas.

3, Kampanye Anti Hoaks

Kampanye memerangi hoax juga dapat melibatkan tokoh atau orang yang berdampak luas dalam dunia digital. Dalam kampanye literasi digital ini akan mempercepat penyebaran pesan positif dan menekan ruang gerak disinformasi.

Meningkatkan literasi digital adalah pondasi awal dalam dunia modern dna perkembangan demokrasi yang sehat untuk melindungi agenda pemilu dari dampak negatif disinformasi. Pemilih yang memiliki kemampuan digital yang baik akan lebih mampu menilai kebenaran informasi, memahami proses penyelenggaraan pemilu, serta berperan aktif menjaga integritas demokrasi. Dengan kolaborasi antara pemerintah, penyelenggara pemilu, akademisi, media, dan masyarakat, ekosistem informasi yang sehat dapat tercipta.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 11 kali