Mufakat dalam Demokrasi Pancasila: Makna, Implementasi, dan Relevansinya bagi Penyelenggaraan Pemilu
Mufakat merupakan keputusan yang diterima oleh seluruh pihak setelah melalui proses musyawarah penuh keadilan, yaitu memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menyampaikan pandangannya tanpa tekanan, tanpa dominasi, dan tanpa mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok. Hidup bermasyarakat pada hakikatnya adalah proses bertemu dan berinteraksi antara berbagai kepentingan, gagasan, serta tujuan yang berbeda. Selama proses tersebut, konflik kepentingan hampir selalu hadir. Namun, yang menentukan kualitas suatu bangsa adalah bagaimana konflik itu diselesaikan. Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman budaya, agama, pandangan politik, dan etnis memahami bahwa stabilitas sosial hanya dapat dijaga melalui nilai-nilai kebijaksanaan kolektif. Di sinilah konsep mufakat memiliki posisi sentral tidak hanya sebagai mekanisme pengambilan keputusan, tetapi sebagai filosofi kehidupan politik dan sosial.
Semangat mufakat menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan setara dalam mengemukakan pendapat, sementara keputusan akhir harus mengutamakan kebaikan bersama. Dalam kerangka demokrasi Pancasila, mufakat bukan sekadar hasil, melainkan proses yang menumbuhkan rasa saling menghormati, saling percaya, dan tanggung jawab bersama. Dalam penyelenggaraan Pemilu, mufakat menjadi jembatan untuk memastikan kontestasi politik tidak mengganggu persatuan nasional, tetapi menjadi sarana memperkuat kedaulatan rakyat.
Apa Pengertian Mufakat dalam Kehidupan Demokrasi?
Secara sederhana, mufakat berarti kesepakatan bersama. Namun dalam konteks demokrasi Indonesia, mufakat memiliki makna yang jauh lebih mendalam daripada sekadar persetujuan teknis. Mufakat berarti keputusan yang diterima oleh seluruh pihak setelah melalui proses musyawarah penuh keadilan, yaitu memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk menyampaikan pandangannya tanpa tekanan, tanpa dominasi, dan tanpa mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam demokrasi Pancasila, mufakat mencerminkan beberapa prinsip penting diantaranya:
- Semua orang setara dalam menyampaikan pendapat.
- Keputusan harus mengarah pada kemaslahatan bersama.
- Konflik diselesaikan melalui dialog, bukan persaingan agresif.
- Kemenangan bukan tentang suara terbanyak, tetapi penerimaan kolektif.
Di banyak negara, demokrasi diidentikkan dengan voting untuk menentukan pemenang berdasarkan mayoritas suara. Namun, demokrasi Indonesia memandang voting sebagai upaya terakhir, bukan sebagai prioritas utama. Prioritas utamanya tetap musyawarah dan mufakat, karena keduanya memastikan keputusan tidak menghasilkan polarisasi jangka panjang dan tetap menjaga harmoni sosial.
Dengan demikian, demokrasi Indonesia adalah demokrasi deliberatif yang menjunjung kolaborasi dalam perbedaan, bukan kompetisi yang menghancurkan persatuan.
Bagaimana Musyawarah dan Mufakat dalam Nilai Dasar Pancasila?
Musyawarah dan mufakat memiliki dasar paling kuat pada Sila ke-4 Pancasila:
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Dari sila ini, terdapat filosofi demokrasi yang berbeda secara fundamental dengan model demokrasi liberal:
|
Demokrasi Liberal |
Demokrasi Pancasila |
|
Voting sebagai cara utama |
Musyawarah sebagai cara utama |
|
Mayoritas mengalahkan minoritas |
Keputusan diterima semua pihak |
|
Dominasi individu/kelompok mungkin terjadi |
Kepentingan bersama diprioritaskan |
|
Rasionalitas formal |
Kebijaksanaan kolektif |
Selain Pancasila, semangat musyawarah dan mufakat juga tercermin dalam budaya Nusantara. Hampir semua suku di Indonesia memiliki tradisi rapat adat untuk mencapai kesepakatan bersama. Keputusan penting pada masa kerajaan maupun masyarakat tradisional tidak pernah dilakukan sepihak. Itu menegaskan bahwa konsep demokrasi deliberatif bukan hanya teori modern, tetapi telah hidup jauh sebelum Indonesia berdiri sebagai negara.
Dengan kata lain, Pancasila bukan menciptakan konsep mufakat melainkan merumuskan nilai yang telah hidup berabad-abad dalam budaya Indonesia.
Apa Contoh Penerapan Mufakat dalam Masyarakat dan Pemerintahan?
Prinsip mufakat hadir pada berbagai lapisan kehidupan diantaranya:
- Dalam Kehidupan Sehari-hari:
- Penetapan jadwal ronda atau kerja bakti berdasarkan kesepakatan warga.
- Sengketa antar keluarga diselesaikan melalui “duduk bersama” dengan tokoh masyarakat.
- Pengaturan penggunaan lahan komunal di desa melalui rapat bersama.
Konsep ini mengajarkan bahwa harmoni sosial lebih penting daripada kepentingan personal.
- Dalam Pendidikan dan Organisasi:
- Rapat OSIS atau organisasi kampus menentukan program kerja melalui diskusi kelompok.
- Penetapan ketua tim atau ketua kelas sering mengutamakan kesepakatan bersama sebelum voting.
- Setiap anggota diberi ruang bicara agar hasil keputusan menjadi rasa memiliki bersama.
Sekolah menjadi media pembelajaran demokrasi deliberatif sejak usia muda.
- Dalam Pemerintahan:
- Rapat DPR membahas rancangan undang-undang dengan musyawarah lintas fraksi sebelum voting.
- Forum Musrenbangda (Musyawarah Rencana Pembangunan Daerah) sebagai wadah menentukan prioritas pembangunan melalui dialog bersama masyarakat.
- Kebijakan publik dirumuskan dengan mekanisme FGD, dengar pendapat, dan konsultasi publik.
Semua mekanisme tersebut mencerminkan bahwa pemerintah tidak boleh bekerja sepihak, tetapi mendengarkan aspirasi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.
Bagaimana Mufakat dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Keputusan Publik?
Pemilu bukan hanya prosedur memilih pemimpin, tetapi bagian dari ritual demokrasi yang menentukan masa depan bangsa. Dalam penyelenggaraan pemilu, mufakat berfungsi sebagai perekat sosial agar kontestasi politik tetap berjalan damai dan tidak memecah masyarakat. Penerapan mufakat dalam konteks pemilu dapat dilihat dari:
- Pada Lembaga Penyelenggara Pemilu - KPU, Bawaslu, dan DKPP bekerja berdasarkan kolegial kolektif. Setiap keputusan diambil melalui sidang pleno, bukan dominasi individu. Regulasi pemilu disusun melalui konsultasi dengan partai politik dan masyarakat sipil. Mekanisme ini memastikan keadilan prosedural dan penerimaan publik.
- Pada Tahap Kontestasi Politik - Deklarasi kampanye damai sebagai bentuk kesepakatan moral. Dialog antar peserta pemilu untuk menghindari kampanye negatif. Komitmen bersama untuk menolak politik uang, ujaran kebencian, dan provokasi. Mufakat menjadi pagar etis agar pemilu berlangsung beradab.
- Pada Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu - Rekapitulasi suara terbuka sehingga hasil dapat diterima secara transparan. Penyelesaian keberatan melalui mekanisme dialog administratif sebelum masuk ke jalur sengketa hukum. Komunikasi antar tim pemenangan pasca pemilu untuk mencegah disintegrasi sosial.
Prinsip ini memastikan bahwa kompetisi selesai setelah pemilu, bukan menjadi sumber permusuhan berkepanjangan.
Bagaimana Menjaga Semangat Mufakat di Era Modern?
Meskipun masyarakat Indonesia memiliki budaya musyawarah yang kuat, era modern menghadirkan tantangan baru dalam menjaga prinsip mufakat:
|
Tantangan Modern |
Dampaknya terhadap Nilai Mufakat |
|
Polarisasi media sosial |
Meningkatkan konflik emosional dan ujaran kebencian |
|
Kompetisi politik semakin tajam |
Pendekatan “menang–kalah” menggantikan “kesepakatan bersama” |
|
Dominasi opini mayoritas |
Potensi menekan kelompok minoritas |
|
Individualisme dan ego kelompok |
Mengurangi kesediaan mendengar pendapat orang lain |
Apabila tantangan ini tidak diatasi, masyarakat rentan terpecah berdasarkan identitas atau fanatisme kelompok. Untuk menjaga nilai mufakat, diperlukan upaya bersama seperti:
- Pendidikan Demokrasi Substantif - Tidak cukup hanya mengajarkan cara voting, tetapi juga nilai empati, dialog, dan penerimaan perbedaan.
- Keteladanan Tokoh Publik - Pemimpin publik harus menunjukkan budaya anti-provokasi dan mengedepankan dialog setiap kali terjadi perbedaan politik.
- Media Massa yang Edukatif - Media perlu mendorong ruang publik yang sehat, bukan menjadi kotak resonansi kebencian atau sensasionalisme konflik.
- Literasi Digital Masyarakat - Pengguna media sosial perlu menyadari bahwa ruang digital bukan arena perang, melainkan ruang pertukaran gagasan.
Mufakat tidak akan hilang jika masyarakat terus menjaga budaya ini sebagai identitas demokrasi Indonesia.
Mufakat bukan sekadar prosedur pengambilan keputusan, tetapi ekspresi nilai keindonesiaan: menghargai perbedaan, mencari titik temu, dan menempatkan kepentingan bersama di atas ambisi pribadi. Melalui mufakat, demokrasi Pancasila mencapai tujuannya dan bukan hanya menghasilkan pemimpin, tetapi juga menjaga persatuan bangsa.
Dalam penyelenggaraan pemilu, mufakat berperan sebagai pelindung agar kompetisi politik tidak mengorbankan persaudaraan nasional. Ketika musyawarah dan mufakat dijalankan dengan sungguh-sungguh, demokrasi tidak menjadi arena perebutan kekuasaan, tetapi sarana mencapai kebijaksanaan kolektif.
Di tengah perubahan zaman, tugas generasi sekarang adalah memastikan bahwa nilai mufakat tetap hidup, dibelajarkan, dicontohkan, diterapkan, dan diwariskan.
Karena selama mufakat menjadi budaya komunikasi bangsa, Indonesia akan tetap kokoh dalam keberagaman dan bijaksana dalam memajukan demokrasi.