Wawasan Kepemiluan

Budaya Politik Parokial: Tantangan Demokrasi di Era Pemilu Modern

Budaya Politik Parokial (parochial political culture) adalah kondisi ketika individu atau masyarakat memiliki orientasi yang sangat rendah terhadap sistem politik, baik dari sisi pengetahuan, kesadaran, maupun keterlibatan. Dalam perjalanan demokrasi, tingkat partisipasi warga negara selalu menjadi indikator penting untuk menilai kesehatan suatu sistem politik. Demokrasi hanya dapat berjalan optimal ketika warganya memiliki kesadaran politik, pengetahuan akan hak dan kewajiban, serta keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan. Namun dalam kenyataannya, tidak semua masyarakat memiliki tingkat keterlibatan politik yang sama. Salah satu bentuk budaya politik yang masih banyak ditemui dalam berbagai negara, termasuk negara demokrasi, adalah budaya politik parokial.

Budaya politik parokial menunjukkan pola hubungan antara warga dan negara yang sangat minim. Dalam budaya ini, masyarakat belum menganggap politik sebagai bagian penting dari kehidupan mereka. Pengetahuan mengenai sistem politik rendah, partisipasi hampir tidak ada, dan orientasi politik sering kali hanya dibatasi pada struktur tradisional seperti pemimpin adat, tokoh masyarakat, atau figur berpengaruh dalam komunitas. Ketika demokrasi modern menuntut keterlibatan aktif setiap warga negara, keberadaan budaya politik parokial menjadi tantangan serius yang perlu dipahami dan diatasi.

Apa itu budaya politik parokial?

Dalam ilmu politik, budaya politik parokial (parochial political culture) merujuk pada kondisi ketika individu atau masyarakat memiliki orientasi yang sangat rendah terhadap sistem politik, baik dari sisi pengetahuan, kesadaran, maupun keterlibatan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam kajian klasik The Civic Culture, yang mengelompokkan budaya politik masyarakat ke dalam tiga tipe: parokial, kaula (subject), dan partisipan.

Dalam budaya politik parokial masyarakat tidak mengetahui peran lembaga negara secara utuh, politik dianggap jauh dari kehidupan sehari-hari, hubungan warga dengan negara sangat lemah serta kepatuhan masyarakat lebih besar kepada figur tradisional dibandingkan institusi modern

Dengan kata lain, warga tidak merasa dirinya sebagai bagian dari proses politik, dan tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak serta peran dalam menentukan arah pemerintahan.

Apa Ciri-ciri masyarakat dengan budaya politik parokial?

Masyarakat yang masih berada dalam pola budaya politik parokial memiliki beberapa ciri menonjol, antara lain:

  1. Minim partisipasi politik - Partisipasi politik hanya terjadi ketika ada stimulus eksternal, misalnya tekanan sosial, mobilisasi tokoh tertentu, atau kewajiban administratif. Masyarakat tidak terbiasa menginisiasi partisipasi berdasarkan kesadaran diri.
  2. Rendahnya pengetahuan politik - Pengetahuan mengenai sistem pemerintahan, kewenangan lembaga negara, proses pemilu, serta hak konstitusional cenderung rendah. Politik dianggap sesuatu yang rumit, jauh, atau tidak relevan.
  3. Ketergantungan pada struktur tradisional - Keputusan politik sering kali mengikuti arahan tokoh nonformal seperti pemimpin adat, tokoh agama, atau figur karismatik. Pilihan tidak didasarkan pada evaluasi rasional terhadap program dan rekam jejak kandidat.
  4. Pandangan apatis terhadap politik - Frasa seperti “politik bukan urusan saya” atau “siapa pun pemimpinnya sama saja” menggambarkan orientasi pasif dan minim kepercayaan terhadap perubahan melalui demokrasi.
  5. Minim kesadaran tentang kontrol sosial - Warga tidak merasa memiliki kewenangan untuk mengawasi pemerintah, mengkritik kebijakan, atau menuntut akuntabilitas.

Ciri-ciri tersebut tidak berarti masyarakat bodoh atau tidak rasional. Sebaliknya, budaya parokial sering terbentuk karena kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan yang memengaruhi orientasi politik masyarakat.

Apa Faktor terbentuknya budaya politik parokial?

Budaya politik parokial tidak tercipta secara instan. Ada berbagai faktor yang menyebabkan pola budaya ini bertahan:

  1. Tingkat pendidikan dan literasi politik yang rendah - Akses pendidikan formal dan edukasi kewarganegaraan yang terbatas membuat masyarakat tidak familiar dengan fungsi politik serta hak-hak demokratisnya.
  2. Ketergantungan historis pada struktur tradisional - Di banyak wilayah, otoritas sosial tradisional telah ada jauh sebelum negara modern terbentuk. Loyalitas masyarakat kepada figur tradisional berlangsung turun-temurun.
  3. Keterbatasan akses informasi - Kurangnya akses informasi kredibel tentang pemerintahan dan pemilu menyebabkan warga sulit mengembangkan pengetahuan politik yang memadai.
  4. Ketidakmerataan pembangunan ekonomi - Warga yang menghadapi tekanan ekonomi cenderung memprioritaskan pemenuhan kebutuhan dasar dibandingkan keterlibatan politik.
  5. Pengalaman negatif terhadap politik - Korupsi, konflik, atau kegagalan pemimpin masa lalu dapat menciptakan trauma sosial dan sikap menjauhi politik.
  6. Minimnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan politik - Jika edukasi politik tidak menjadi prioritas negara, masyarakat tidak mendapatkan pengetahuan dan saluran untuk partisipasi.

Faktor-faktor ini membuat budaya parokial dapat bertahan meskipun negara secara formal telah menganut sistem demokrasi.

Apa Budaya Politik Parokial terhadap kualitas demokrasi dan pemilu?

Budaya politik parokial membawa beberapa konsekuensi dalam praktik demokrasi:

  1. Partisipasi pemilu bersifat seremonial - Warga ikut memilih bukan karena memahami pilihan, tetapi karena ikut-ikutan, tekanan kelompok, atau insentif jangka pendek.
  2. Rentan manipulasi politik - Minimnya literasi politik membuat masyarakat lebih mudah dipengaruhi politik uang, propaganda, dan disinformasi.
  3. Lemahnya kontrol sosial terhadap pemerintah - Ketika masyarakat tidak mengawasi, aktor politik cenderung tidak merasa perlu menjaga akuntabilitas.
  4. Terhambatnya pergantian elit secara sehat - Pemimpin dipilih bukan berdasarkan kinerja atau gagasan, melainkan pada popularitas figur atau jaringan tradisional.
  5. Demokrasi tidak tumbuh secara substansial - Demokrasi hanya berlangsung secara prosedural atau sekadar proses pemilu tanpa partisipasi kritis dan kesadaran politik.

Untuk membangun demokrasi yang matang, budaya politik parokial perlu berkembang menuju pola yang lebih partisipatif dan kritis.

Bagaimana perbandingan antara parokial, kaula, dan partisipan?

Perbandingan parokial, kaula, dan partisipan adalah sebagai berikut:

Tipe budaya politik

Orientasi terhadap sistem politik

Partisipasi warga

Pola kepatuhan

Parokial

Sangat minim

Hampir tidak ada

Loyalitas pada struktur tradisional

Kaula (Subject)

Menyadari keberadaan negara, tetapi pasif

Terkontrol, bergantung pada pemerintah

Kepatuhan kepada institusi negara

Partisipan

Tinggi

Aktif dan kritis

Kepatuhan berdasarkan kesadaran dan evaluasi

Tujuan pembangunan demokrasi bukan mengganti tradisi, melainkan mendorong evolusi budaya politik masyarakat dari parokial menuju kaula dan terakhir partisipan.

Bagaimana mendorong transisi menuju budaya politik partisipatif?

Perubahan budaya politik bukan proses cepat, tetapi dapat dicapai melalui langkah berkelanjutan seperti:

  1. Memperluas literasi politik - Masyarakat perlu memahami hak, fungsi lembaga negara, peran partisipatif warga, serta cara mengawasi kebijakan publik.
  2. Penguatan kapasitas warga - Pelatihan kepemimpinan, kelas demokrasi, forum warga, dan sekolah politik dapat mendukung keterlibatan politik yang sehat.
  3. Mendorong partisipasi sejak usia muda - Kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang aplikatif dan organisasi pelajar/mahasiswa membantu membentuk pola partisipatif sejak dini.
  4. Media digital untuk edukasi - Konten edukatif, diseminasi informasi pemilu, serta kampanye literasi politik dapat menjangkau generasi digital.
  5. Penguatan organisasi masyarakat sipil - NGO, komunitas, dan gerakan sosial memfasilitasi partisipasi politik berbasis isu, bukan sekadar figur.

Perubahan budaya politik bukan memaksakan masyarakat menjadi “politikus”, tetapi menjadikan warga sadar peran dan suaranya dalam demokrasi.

Apa peran lembaga negara dan edukasi politik publik?

Transformasi budaya politik tidak sepenuhnya bergantung pada masyarakat. Negara memiliki peran penting melalui kebijakan dan kelembagaan.

  1. Peran KPU dalam pendidikan pemilih memegang fungsi strategis antara lain:
  • Mendorong pemilih memahami hak dan kewajiban
  • Mendistribusikan informasi netral tentang peserta pemilu
  • Mengajarkan cara memilih tanpa tekanan atau imbalan
  • Menyelenggarakan program pendidikan pemilih berkelanjutan, bukan hanya saat tahun pemilu
  1. Peran sekolah dan universitas perlu fokus pada:
  • Pemahaman konstitusi dan hukum
  • Diskusi publik dan debat sehat
  • Praktik pemilihan ketua OSIS/Kampus yang demokratis
  1. Peran media antara lain:
  • Menghindari sensasionalisme politik
  • Memberikan informasi akurat dan edukatif
  • Mendorong jurnalisme yang memperkuat demokrasi, bukan polarisasi
  1. Peran pemerintah daerah - Program desa/kelurahan dapat membentuk forum warga, musrenbang, dan mekanisme aspirasi publik yang efektif.
  2. Peran tokoh masyarakat dan agama - Dengan pengaruh sosial yang kuat, tokoh lokal dapat menjadi jembatan pendidikan politik berbasis nilai etika dan tanggung jawab demokratis.

Sinergi antar lembaga ini akan mempercepat transisi budaya politik masyarakat menuju pola yang partisipatif dan inklusif.

Budaya politik parokial merupakan realitas yang wajar dalam perkembangan sejarah masyarakat. Ia bukan bentuk penyimpangan, melainkan fase ketika masyarakat belum sepenuhnya menjadikan politik sebagai ranah partisipasi aktif. Namun dalam konteks demokrasi modern, budaya politik parokial membawa tantangan besar karena berisiko melemahkan kualitas pemilu, partisipasi publik, dan akuntabilitas pemerintah.

Transisi menuju budaya politik partisipatif membutuhkan pendekatan yang inklusif, komunikatif, dan berkelanjutan. Pendidikan politik publik, literasi warga, Kampanye KPU yang netral, pemberdayaan warga melalui organisasi sipil, serta peran sekolah dan media adalah fondasi utama dalam perubahan tersebut. Ketika masyarakat menyadari hak dan perannya sebagai warga negara, demokrasi tidak hanya menjadi prosedur pemilu lima tahunan akan tetapi menjadi ruang bersama untuk membangun masa depan yang adil, transparan, dan bermartabat.

Baca juga: Birokrasi: Apa Itu, Mengapa Penting, dan Bagaimana Perannya dalam Pelayanan Publik

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 21 kali