Wawasan Kepemiluan

Sejarah Terbentuknya KORPRI

Hai, Teman Pemilih! Pernahkah kamu bertanya, sejak kapan KORPRI berdiri? Organisasi yang identik dengan seragam batik biru ini ternyata punya sejarah panjang dalam perjalanan bangsa kita, Indonesia. Yuk, kita kenali lebih dekat kisah lahirnya KORPRI dan semangat pengabdian di baliknya. Namun sebelum kita mengulik lebih jauh sejarah terbentuknya KORPRI ini, Teman Pemilih harus mengetahui terlebih dahulu apa itu KORPRI. Arti KORPRI KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) adalah sebuah perkumpulan profesi yang mana seluruh Pegawai Negeri Sipil baik Departemen maupun Lembaga Pemerintah non Departemen merupakan anggotanya. KORPRI dibentuk tentunya memiliki tujuan, yang diantaranya adalah untuk upaya peningkatan kinerja, pengabdian dan netralitas Pegawai Negeri, sehingga keberadaan KORPRI memiliki daya guna dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. KORPRI sendiri berdiri pada tanggal 29 November 1971 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. KORPRI adalah perkumpulan organisasi ekstra struktural, yang secara fungsional tidak bisa terlepas dari kedinasan maupun di luar kedinasan. Sehingga keberadaan KORPRI sebagai wadah komponen Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat dituntut mampu menunjang pencapaian tugas pokok institusi tempat mengabdi. Teman Pemilih, Sejarah KORPRI sendiri memiliki latar belakang yang sangat panjang. Dimulai pada masa penjajahan kolonial Belanda, banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda yang berasal dari kaum putra Indonesia asli. Pada saat itu, kedudukan pegawai merupakan pegawai kasar atau kelas bawah, karena pengadaannya didasarkan atas kebutuhan penjajah semata. Pada saat beralihnya kekuasaan Belanda kepada Jepang, secara otomatis seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda dipekerjakan oleh pemerintah Jepang sebagai pegawai pemerintah. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat itu, seluruh pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia atau yang disebut dengan pegawai NKRI. Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai NKRI tersebut terbagi menjadi tiga kelompok besar yaitu Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI, Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator) dan pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator). Setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949, seluruh pegawai RI, pegawai RI non Kolaborator, dan pegawai pemerintah Belanda dijadikan Pegawai RI Serikat. Era Republik Indonesia Serikat (RIS), atau yang lebih dikenal dengan era pemerintahan parlementer diwarnai oleh jatuh bangunnya kabinet. Sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai. Para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri. Sehingga warna departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu. Dominasi partai dalam pemerintahan terbukti mengganggu pelayanan publik, karena pegawai negeri yang seharusnya berfungsi melayani Masyarakat, kini berubah menjadi alat politik partai sehingga pegawai negeri pun menjadi terkotak-kotak. Nah, pada saat itu prinsip penilaian prestasi atau karir pegawai negeri yang fair dan sehat hampir diabaikan. Misalnya, kenaikan pangkat pegawai negeri dimungkinkan karena adanya loyalitas kepada partai atau kepada pimpinan Departemennya. Afiliasi pegawai pemerintah sangat kental diwarnai dari partai mana ia berasal. Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan Dekrit Presiden ini sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensil berdasar UUD 1945. Akan tetapi dalam praktek kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangatlah besar. Teman pemilih,dalam kondisi seperti ini muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa. Melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 pasal 10 ayat 3, ditetapkan bahwa bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik. Ketentuan tersebut diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya. Tetapi disayangkan bahwa PP yang diharapkan akan muncul, ternyata tidak kunjung datang. Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan G-30S. Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis. Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor 82 Tahun 1971 tentang KORPRI. Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, KORPRI “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (tertuang pada pasal 2 ayat 2). Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”, akan tetapi KORPRI kembali menjadi alat politik. Undang-undang No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, semakin memperkokoh fungsi KORPRI dalam memperkuat barisan partai. Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional KORPRI, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu. Nah, setelah Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas KORPRI, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR. Akhirnya menghasilkan konsep dan disepakati bahwa KORPRI harus netral secara politik. Bahkan ada pendapat dari beberapa pengurus dengan kondisi tersebut, sebaiknya KORPRI dibubarkan saja, atau bahkan jika ingin berkiprah di kancah politik maka sebaiknya membentuk partai sendiri. Setelah Reformasi dengan demikian KORPRI bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik. Para Kepala Negara setelah era Reformasi mendorong tekad KORPRI untuk senantiasa netral. Berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu senantiasa berpegang teguh pada profesionalisme. Senantiasa berpegang teguh pada Panca Prasetya KORPRI. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol. Nah, dengan adanya ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah ini, membuat anggota KORPRI tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun. KORPRI hanya bertekad berjuang untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara. Nah, Teman Pemilih sudah tahukan arti KORPRI dan sejarah berdirinya KORPRI. KORPRI ini juga memiliki lambang, dan tentunya memiliki makna masing-masing disetiap bagiannya. Teman Pemilih bisa baca artikel kami Yuk, Kenali Lambang KORPRI: Atribut Lencana, Simbol dan makna yang terkandung didalamnya!

Hari Kesehatan Nasional 2025: Makna, Sejarah, dan Isu Kesehatan Terkini di Indonesia

Pada tanggal 12 November setiap tahunnya bangsa Indonesia memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN). Setiap tahunnya, momen ini menjadi pengingat penting bahwa kesehatan merupakan suatu modal utama menuju pembangunan bangsa. Di tengah tantangan global dan dinamika sosial yang terus mengalami perubahan, Hari Kesehatan Nasional 2025 menjadi momentum untuk meneguhkan kembali komitmen bersama dalam mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang sehat, tangguh, dan berdaya saing. Apa Makna Hari Kesehatan Nasional ? Makna dari Hari Kesehatan Nasional ialah momen kesadaran dan motivasi bersama dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kesehatan, serta memperkuat komitmen seluruh bangsa dalam mewujudkan Indonesia yang sehat dan sejahtera. Hari Kesehatan Nasional tidak hanya dimaknai sebagai perayaan tahunan, tetapi juga menjadi renungan terhadap kesadaran diri akan pentingnya gaya hidup sehat, karena kesehatan adalah hak dasar setiap orang, yang harus dijaga dan didukung oleh seluruh elemen bangsa mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, dunia usaha, hingga masyarakat pada umumnya. Tema HKN 2025 diharapkan terus menggaungkan semangat “Bangun Generasi Sehat untuk Indonesia Emas”. Semangat ini menekankan bahwa kesehatan bukan hanya tanggung jawab sektor medis, tetapi juga bagian dari gaya hidup dan perilaku masyarakat sehari  hari. Hidup sehat bukan pilihan, melainkan keharusan untuk menciptakan generasi unggul dan produktif. Selain itu, HKN juga menjadi waktu yang tepat untuk apresiasi terhadap dedikasi tenaga kesehatan yang sudah berperan di garis depan, khususnya dalam menghadapi pandemi dan berbagai tantangan kesehatan lainnya, untuk melindungi masyarakat Indonesia dari ancaman penyakit menular maupun tidak menular. Apa Tema HKN dari Tahun ke Tahun ? Sejak pertama kali diperingati pada tahun 1964, HKN selalu mengusung tema berbeda setiap tahunnya, menyesuaikan dengan kondisi dan tantangan kesehatan masyarakat pada masa tersebut. Tema-tema ini tidak hanya menjadi slogan seremonial, tetapi juga arah kebijakan dan strategi pemerintah dalam membangun sistem kesehatan yang lebih baik Pada awal penyelenggaraannya, tema HKN berfokus pada semangat pemberantasan penyakit menular seperti malaria, TBC, dan polio. Pemerintah saat itu menekankan pentingnya gotong royong dan partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan serta mencegah penyebaran penyakit. Memasuki era 1980-an hingga 1990-an, tema HKN mulai menyoroti pentingnya gizi, kesehatan ibu dan anak, serta pelayanan kesehatan dasar melalui program Puskesmas. Ini menjadi tonggak penting dalam pemerataan akses layanan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Seiring perkembangan zaman, tema HKN terus berkembang mengikuti tantangan baru. Pada era 2000-an, isu kesehatan masyarakat mulai bergeser ke arah gaya hidup tidak sehat, penyakit tidak menular, dan pentingnya promosi kesehatan. Misalnya, tema “Indonesia Sehat 2025” dan “Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS)” mencerminkan upaya pemerintah untuk mendorong masyarakat menerapkan pola hidup sehat. Selama pandemi COVID-19, tema HKN berfokus pada solidaritas, ketahanan sistem kesehatan, dan pentingnya vaksinasi, seperti pada tahun 2020 dengan tema “Satukan Tekad Menuju Indonesia Sehat”. Sementara itu, tema tahun-tahun terakhir, seperti “Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku” (2022) dan “Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju” (2023), menegaskan komitmen pemerintah dalam memperkuat sistem kesehatan nasional agar lebih tangguh dan merata. Dengan demikian, tema Hari Kesehatan Nasional dari tahun ke tahun tidak hanya mencerminkan perjalanan sejarah kesehatan di Indonesia, tetapi juga menjadi cerminan visi bangsa menuju masyarakat yang sehat, produktif, dan sejahtera Sejarah Hari Kesehatan Nasional Hari Kesehatan Nasional mulai diperingati pada tahun 1964, pada saat Indonesia berhasil mengendalikan wabah malaria yang merupakan penyakit mematikan pada masa itu karena telah merenggut ribuan nyawa setiap tahun. Pada akhir tahun 1950  an, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan World Health Organization (WHO) dan United States Agency for International Development (USAID) memulai Program Pemberantasan Malaria Nasional. Program ini dilakukan dengan penyemprotan DDT secara massal dan melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Program tersebut berhasil menurunkan kasus malaria secara drastis hingga pada tahun 1963 Indonesia dinyatakan berhasil mengendalikan penyebaran malaria di berbagai wilayah Indonesia. Keberhasilan besar tersebut mendorong pemerintah menetapkan 12 November 1964 sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN). Sejak saat itu, peringatan HKN dijadikan momentum tahunan untuk meninjau kembali pencapaian dan tantangan sektor kesehatan Indonesia. Dari tahun ke tahun, fokus HKN terus berkembang, mulai dari pemberantasan penyakit menular, penurunan angka kematian ibu dan anak, hingga saat ini berfokus pada penguatan sistem kesehatan dan peningkatan kesadaran hidup sehat di seluruh lapisan masyarakat.   Bagaimana Perkembangan Sistem Kesehatan di Indonesia ? Dalam enam dekade perjalanan Hari Kesehatan Nasional, sistem kesehatan Indonesia mengalami banyak kemajuan, diantaranya hadirnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan sejak tahun 2014. Program ini menjadi tonggak sejarah dalam upaya pemerataan akses layanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah juga terus memperkuat layanan kesehatan utama melalui puskesmas, rumah sakit daerah, serta peningkatan kompetensi tenaga medis. Selain itu, program nasional seperti Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS), imunisasi anak, penanganan stunting, dan kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas pembangunan kesehatan nasional. Meskipun masih terdapat tantangan dilapangan seperti fasilitas Kesehatan yang masih belum merata dipenjuru negeri dan kurangnya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat, pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan fasilitas dan penyuluhan kepada masyarat sehingga menjadi fokus dan mendapat perhatian serius di tahun 2025 dan seterusnya.   Apa Isu  Isu Kesehatan Terkini di Indonesia ? Dalam peringatan Hari Kesehatan Nasional 2025, ada sejumlah isu kesehatan yang menjadi sorotan penting yang memperlihatkan tantangan nyata dalam sistem kesehatan nasional. Stunting dan Gizi Buruk, masalah stunting atau gangguan pertumbuhan akibat kekurangan gizi kronis masih menjadi isu utama di Indonesia. Pemerintah menargetkan tingkat stunting turun hingga di bawah 14 persen. Upaya dalam perbaikan gizi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang makanan bergizi menjadi fokus utama, seba penurunan stunting menjadi salah satu indikator penting menuju Indonesia Emas 2045. Penyakit Tidak Menular (PTM), kasus penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, jantung, dan kanker terus meningkat setiap tahun. Perubahan gaya hidup, konsumsi makanan cepat saji, kurang olahraga, dan kebiasaan merokok memperparah situasi ini. Melalui kampanye GERMAS, pemerintah mengajak masyarakat untuk rutin berolahraga, mengonsumsi makanan sehat, serta melakukan pemeriksaan kesehatan berkala sebagai bentuk pencegahan dini. Kesehatan Mental, Isu kesehatan mental kini menjadi perhatian penting, terutama setelah pandemi COVID  19. Banyak masyarakat mengalami stres, kecemasan, hingga depresi akibat tekanan sosial dan ekonomi. Kesadaran untuk menjaga kesehatan mental kini meningkat, namun stigma negatif masih menjadi tantangan. Pemerintah dan komunitas kesehatan mental perlu memperluas edukasi dan akses layanan psikologis di tingkat masyarakat. Ketahanan Sistem Kesehatan, Pandemi COVID  19 memberikan pelajaran besar tentang pentingnya ketahanan sistem kesehatan nasional. Pemerintah kini memperkuat sistem surveilans, memperluas digitalisasi data medis, dan memperbaiki distribusi tenaga kesehatan di daerah terpencil. Kemandirian produksi alat kesehatan dan vaksin juga menjadi agenda strategis nasional. Isu Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Polusi udara, krisis air bersih, dan perubahan iklim menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, konsep One Health yang menekankan keterkaitan antara kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan menjadi paradigma penting dalam pembangunan berkelanjutan di sektor kesehatan.   Apa Peran Masyarakat dalam Mewujudkan Indonesia Sehat ? Kesuksesan dalam pembangunan kesehatan tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga kemuan aktif dari masyarakat. Masyarakat memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan diri, keluarga, dan lingkungan sekitar. Hal sederhana seperti mencuci tangan, menjaga kebersihan makanan, rutin berolahraga, serta tidak merokok dapat memberikan dampak yang signifikan bagi kesehatan jangka panjang. Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan posyandu, donor darah, serta kampanye kesehatan turut memperkuat kesadaran dalam menuju masyarakat sehat kedepannya. Hari Kesehatan Nasional 2025 menjadi pengingat bahwa kesehatan adalah pondasi utama bagi kemajuan bangsa. Dengan semangat gotong royong, kolaborasi lintas sektor, dan partisipasi aktif masyarakat, cita  cita mewujudkan Indonesia Sehat dan Berdaya Saing bukanlah hal yang mustahil. Melalui momentum ini, mari kita jadikan HKN bukan sekadar peringatan, tetapi gerakan nyata untuk membangun kesadaran hidup sehat dalam setiap aspek kehidupan. Sebab, bangsa yang sehat adalah bangsa yang kuat dan dari sanalah lahir generasi tangguh menuju Indonesia Emas 2045.

Alat Peraga Kampanye Politik: Strategi, Etika, dan Kekuatan Pengaruh dalam Demokrasi

Alat Peraga Kampanye (APK) adalah sesuatu yang merujuk pada segala bentuk media fisik yang digunakan peserta pemilu atau pilkada untuk menyampaikan pesan Politik, memperkenalkan diri, dan mengajak masyarakat memberikan dukungan. Dalam sistem Demokrasi modern, Alat Peraga Kampanye merupakan salah satu elemen paling penting dalam proses pemilihan umum (pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Alat Peraga Kampanye bukan sekadar alat promosi diri, melainkan ruang komunikasi antara calon pemimpin dan masyarakat. Melalui Alat Peraga Kampanye, para kandidat memperkenalkan visi, misi, dan program kerja mereka kepada publik, sekaligus berusaha membangun citra dan kepercayaan agar dipilih dalam kontestasi Politik. Sebelum masuk ke Alat Peraga Kampanye (APK) berikut penjelasan terkait Kampanye Politik Apa Makna dan Fungsi Kampanye Politik ? Kampanye Politik secara umum dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan komunikasi Politik yang dilakukan oleh peserta pemilu untuk memperoleh dukungan dari pemilih. Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), kampanye adalah upaya meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program kerja yang telah disusun. Dengan demikian, kampanye bukan hanya tentang menarik perhatian, tetapi juga tentang memberikan informasi yang memungkinkan masyarakat memilih secara rasional dan sadar. Fungsi kampanye Politik mencakup tiga hal utama. Pertama, fungsi edukatif, di mana kampanye berperan mendidik masyarakat tentang nilai-nilai Demokrasi dan pentingnya partisipasi Politik. Kedua, fungsi komunikatif, yaitu menjembatani komunikasi dua arah antara kandidat dan masyarakat. Ketiga, fungsi mobilisasi, yakni menggerakkan massa untuk mendukung kandidat tertentu melalui berbagai aktivitas Politik. Bagaimana Perkembangan Kampanye di Era Digital ? Dalam perkembangan teknologi informasi saat ini, kampanye Politik mengalami perubahan pola yang signifikan. Jika pada masa lampau kampanye identik dengan rapat umum, spanduk, dan baliho, maka kini media sosial menjadi panggung utama pertarungan opini publik. Platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, dan X (Twitter) menjadi sarana efektif untuk membangun citra dan menyebarkan pesan Politik dengan cepat dan luas. Kampanye di era digital memiliki keunggulan dalam hal jangkauan dan efisiensi biaya. Calon dapat menyapa pemilih tanpa batas geografis, berinteraksi secara langsung melalui komentar atau siaran langsung, serta memantau respons publik secara real-time. Meskipun demikian, di balik kemudahan ini, muncul pula tantangan baru seperti penyebaran hoaks, manipulasi data, hingga Politik identitas yang disebarluaskan secara masif. Oleh sebab itu, kampanye di era digital memerlukan strategi komunikasi yang cerdas dan etis. Kandidat dan tim pemenangannya harus mampu mengelola informasi secara transparan, faktual, dan menghormati privasi publik. Keberhasilan kampanye tidak hanya diukur dari seberapa viral sebuah konten, tetapi seberapa kuat pesan yang disampaikan membangun kepercayaan dan kredibilitas Politik. Apa Peran dan Fungsi Alat Peraga Kampanye (APK) ? Selain kampanye digital, Alat Peraga Kampanye (APK) masih menjadi instrumen penting dalam menyampaikan pesan Politik secara visual. APK mencakup berbagai media fisik seperti baliho, spanduk, banner, poster, umbul-umbul, hingga billboard yang menampilkan gambar calon beserta nomor urut, logo partai, dan slogan kampanye. Menurut ketentuan Komisi Pemilihan Umum, Alat Peraga Kampanye (APK) berfungsi sebagai sarana informasi dan sosialisasi publik agar masyarakat mengenal peserta pemilu atau pilkada. Keberadaan Alat Peraga Kampanye (APK) membantu memperluas jangkauan komunikasi Politik, terutama di daerah yang akses digitalnya masih terbatas. Dengan visual yang menarik, warna partai yang kuat, dan pesan singkat yang mudah diingat, Alat Peraga Kampanye (APK) mampu menanamkan citra Politik dalam kesadaran masyarakat. Namun, penggunaan alat peraga juga menghadirkan tantangan. Masalah yang sering muncul antara lain pelanggaran lokasi pemasangan, seperti menempel di fasilitas umum, tempat ibadah, atau pohon. Selain itu, ada pula praktik pemasangan Alat Peraga Kampanye (APK) secara berlebihan hingga mengotori lingkungan atau mengganggu estetika kota. Oleh karena itu, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) menekankan pentingnya penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) agar kampanye tetap tertib, adil, dan ramah lingkungan. Dalam konteks etika Politik, Alat Peraga Kampanye (APK) seharusnya tidak sekadar menjadi ajang pamer wajah, tetapi sarana untuk menyampaikan pesan substantif. Desain dan isi alat peraga yang baik mampu mencerminkan karakter kandidat, visi Politik, serta nilai-nilai yang ingin diperjuangkan. Dengan demikian, Alat Peraga Kampanye (APK) berperan bukan hanya sebagai media promosi, tetapi juga sebagai alat pendidikan Politik visual bagi masyarakat. Bagaimana Strategi Kampanye dan Perilaku Pemilih ? Dalam konteks Politik Indonesia, strategi kampanye sering kali menyesuaikan dengan karakteristik sosial, budaya, dan ekonomi pemilih. Di daerah perkotaan, kampanye cenderung bersifat rasional dan programatik, pemilih lebih tertarik pada gagasan dan kinerja. Sedangkan di daerah pedesaan, kampanye sering kali mengandalkan pendekatan personal dan simbolik, seperti silaturahmi, kegiatan sosial, atau penggunaan tokoh lokal sebagai pengaruh utama. Penelitian yang dilakukan di Kota Palu (Universitas Tadulako, 2024) menunjukkan bahwa keberhasilan seorang calon, terutama incumbent, tidak semata ditentukan oleh kekuatan modal ekonomi atau posisi strukturalnya. Modal sosial seperti kedekatan dengan masyarakat, kemampuan mendengarkan aspirasi, dan menjaga kepercayaan justru menjadi faktor paling menentukan dalam keputusan pemilih. Dengan kata lain, kampanye yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan emosi publik lebih efektif dibanding sekadar kampanye simbolik atau seremonial. Baca juga: Incumbent dalam Dunia Politik: Keunggulan, Tantangan, dan Etika Demokrasi Bagaimana Etika dan Regulasi Kampanye Politik ? Dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada, kampanye diatur secara ketat oleh undang-undang untuk menjaga keadilan dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. KPU bersama Bawaslu memiliki peran penting dalam memastikan setiap kandidat mematuhi aturan kampanye, baik terkait waktu, lokasi, maupun metode yang digunakan. Salah satu tantangan terbesar dalam etika kampanye adalah praktik Politik uang, penyebaran fitnah, dan penggunaan fasilitas negara oleh petahana (incumbent). Fenomena ini sering menurunkan kualitas Demokrasi karena membuat kontestasi Politik tidak lagi berdasarkan gagasan, melainkan kekuatan materi dan akses kekuasaan. Oleh sebab itu, integritas kandidat dan kesadaran masyarakat menjadi kunci utama dalam menjaga agar kampanye berlangsung jujur, adil, dan bermartabat. Apa Peran Masyarakat dalam Kampanye ? Dalam Kampanye, masyarakat diharapkan lebih cerdas dan cermat dalam menentukan pilihannya. Pada Era digital masyarakat diharapkan untuk tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi. Literasi media dan kesadaran Politik harus terus ditingkatkan agar masyarakat mampu memilah informasi dan menentukan pilihan berdasarkan penilaian rasional, bukan sekadar emosi atau sentimen identitas. Kampanye Politik, baik dalam pemilu maupun pilkada, adalah cerminan dari kualitas Demokrasi suatu bangsa. Di dalamnya terkandung nilai komunikasi, partisipasi, dan kompetisi yang sehat. Namun, kampanye juga bisa menjadi sumber konflik dan disinformasi jika tidak dijalankan secara etis dan transparan. Sehingga, tantangan utama kampanye Politik di Indonesia bukan hanya bagaimana memenangkan suara, tetapi bagaimana membangun kepercayaan publik melalui pesan yang jujur, strategi yang beradab, serta penghormatan terhadap kecerdasan rakyat. Dengan demikian, kampanye tidak sekadar menjadi alat perebutan kekuasaan, tetapi sarana memperkuat Demokrasi yang partisipatif dan bermartabat.

Incumbent dalam Dunia Politik: Keunggulan, Tantangan, dan Etika Demokrasi

Incumbent atau Petahana adalah orang yang saat ini sedang menjabat suatu posisi atau jabatan resmi terutama dalam konteks Politik atau pemerintahan yang ikut kembali dalam pencalonan untuk memperebutkan posisi yang sama pada pemilu atau pilkada berikutnya seperti seorang bupati atau walikota yang masih menjabat ikut kembali dalam pemilihan bupati selanjutnya. Pada setiap pegelaran pesta Politik, istilah Incumbent atau Petahana selalu menjadi pusat perhatian karena mereka yang sudah menduduki jabatan publik dianggap memiliki keunggulan alami dibandingkan penantangnya. Namun, posisi itu juga memiliki risiko dan tantangan tersendiri, khususnya dalam konteks Demokrasi di Indonesia yang terus berkembang. Fenomena Politik Incumbent bukan hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dijalankan, dipertahankan, dan dipertanggungjawabkan. Apa yang menjadi Keunggulan Seorang Incumbent atau Petahana ? Secara sederhana, Incumbent memiliki “modal awal” yang sulit disaingi: popularitas, jaringan birokrasi, dan rekam jejak yang sudah dikenal publik. Dalam Politik elektoral, ketenaran dan kedekatan dengan masyarakat menjadi faktor penting. Petahana biasanya sudah memiliki akses terhadap sumber daya pemerintah, baik secara simbolik maupun praktis  misalnya melalui kegiatan resmi, kebijakan populis, atau program pembangunan yang dapat meningkatkan citra positif di mata pemilih. Data yang dirilis IPI pada Mei 2025 bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden Prabowo Subianto mencapai 82,7% (sampel 1.286 responden, 17-20 Mei 2025) dimana data sebelumnya menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintahan Petahana masih tinggi. Dengan anggapan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dianggap sebagai kelanjutan pemerintahan Petahana dan mampu memimpin lebih baik dari kondisi saat ini. Ini menunjukkan bahwa brand “Petahana” sering diasosiasikan dengan stabilitas dan kesinambungan kebijakan, yang menjadi daya tarik bagi sebagian besar pemilih. Di tingkat daerah, fenomena serupa juga terlihat baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga ini menggambarkan bahwa keunggulan Incumbent tetap nyata selama mereka mampu menjaga kinerja dan kepercayaan publik. Meskipun demikian, keunggulan ini sering menimbulkan perdebatan etis, seperti “Apakah adil jika seorang Incumbent memiliki akses lebih besar terhadap media, aparat, atau anggaran publik dibandingkan penantangnya?” Di sinilah garis tipis antara keunggulan wajar dan penyalahgunaan kekuasaan mulai dipertanyakan. Bagaimana Tantangan dan Risiko Politik bagi Incumbent atau Petahana ? Menjadi Petahana bukan berarti bebas dari risiko. Justru, ekspektasi publik terhadap mereka jauh lebih tinggi. Setiap kebijakan, keputusan, dan pernyataan akan diawasi secara ketat. Kesalahan kecil dapat menjadi amunisi Politik bagi lawan. Beban secara psikologis juga besar terutama dalam situasi Politik yang kompetitif. Jika masa jabatan sebelumnya dianggap gagal atau kontroversial, maka popularitas Incumbent bisa berubah menjadi bumerang. Publik tidak lagi menilai dari janji, tetapi dari hasil nyata. Fenomena ini dapat dilihat pada Pilkada Kabupaten Jombang (Jawa Timur). Survei LSI Denny JA pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa pasangan non-Incumbent Warsubi–Salmanudin Yazid meningkat elektabilitasnya dari 53,9% menjadi 60%, sedangkan pasangan Incumbent Mundjidah Wahab–Sumrambah mengalami penurunan dukungan. Kasus ini membuktikan bahwa status Petahana bukan jaminan kemenangan; justru bisa menjadi beban jika masyarakat merasa tidak puas. Hal senada juga ditemukan dalam penelitian akademis di Kota Palu tentang perilaku pemilih terhadap calon legislatif Incumbent yang ditulis oleh Irwansyah Kamindang, Meldi Amijaya, dan Nurhayati Hamid (Universitas Tadulako). Studi tersebut menyimpulkan bahwa kandidat Petahana memang memiliki modal sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik yang kuat, namun semua itu tidak cukup tanpa dukungan kinerja nyata dan persepsi positif masyarakat. Dengan kata lain, kekuasaan yang sudah dimiliki justru dapat menjadi ujian yang berat jika tidak diimbangi dengan prestasi. Selain itu, banyak Petahana terjebak dalam “Politik pencitraan”. Alih-alih fokus pada pelayanan publik, mereka cenderung lebih sibuk membangun persepsi positif menjelang masa kampanye. Fenomena ini dapat mengaburkan fungsi utama pemerintahan dan memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap institusi Politik. Bagaimana Aturan Incumbent atau Petahana dalam aspek Etika dan Demokrasi di Indonesia ? Ketentuan mengenai incumbent atau petahana di Indonesia diatur melalui berbagai peraturan perundang-undangan untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang bersih, adil, dan berintegritas. Dasar hukumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta beberapa Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam aturan tersebut ditegaskan bahwa seorang petahana tidak diperbolehkan memakai fasilitas negara, dana pemerintah, atau program kegiatan daerah untuk kepentingan politik maupun kampanye pribadi. Selain itu, petahana dilarang melakukan mutasi atau penggantian pejabat dalam waktu enam bulan sebelum penetapan calon hingga akhir masa jabatan, kecuali memperoleh izin tertulis dari Menteri Dalam Negeri. Selama periode kampanye, incumbent atau petahana diwajibkan mengambil cuti di luar tanggungan negara, sementara tugas pemerintahan dijalankan oleh pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk. Ketentuan ini dibuat untuk mencegah penggunaan jabatan publik sebagai alat politik atau sarana mempertahankan kekuasaan. Jika incumbent atau petahana melanggar aturan tersebut, KPU berhak menjatuhkan sanksi administratif hingga pembatalan pencalonan, sedangkan Bawaslu memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran. Secara keseluruhan, pengaturan ini dimaksudkan untuk menjaga keadilan dalam kontestasi politik, menjamin netralitas pejabat publik, serta melindungi nilai-nilai demokrasi. Dengan adanya aturan tersebut, setiap calon baik itu incumbent maupun penantang diharapkan memiliki kesempatan yang setara untuk bersaing secara sehat tanpa adanya penyalahgunaan kekuasaan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperketat aturan terkait kampanye di sekolah dan fasilitas pemerintah, guna mencegah Petahana menggunakan sumber daya publik secara terselubung. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan potensi konflik kepentingan sudah mulai mendapat perhatian serius dalam kerangka etika Demokrasi. Selain itu peraturan dan pengawasan oleh penyelenggara pemilu, keberadaan media dan masyarakat juga penting, sebab pengawasan publik yang kritis dapat menjadi penyeimbang antara hak Politik Incumbent dan prinsip keadilan pemilu. Demokrasi tidak hanya diukur dari siapa yang menang, tetapi juga dari seberapa adil prosesnya dijalankan. Bagaimana Masa Depan Politik Incumbent atau Petahana di Indonesia ? Fenomena Incumbent menunjukkan bahwa Politik tidak pernah sepenuhnya hitam atau putih. Ada Petahana yang sukses karena kinerja nyata dan integritas tinggi, tetapi ada pula yang bertahan karena memanfaatkan celah kekuasaan. Masa depan Politik Indonesia akan ditentukan oleh bagaimana publik menilai dan mengawasi para Petahana ini. Jika masyarakat semakin kritis dan sadar akan pentingnya integritas, maka posisi Incumbent akan menjadi ujian, bukan jaminan kemenangan. Sebaliknya, jika Politik masih dilihat sebagai ajang popularitas dan kekuasaan, maka Demokrasi kita berisiko stagnan dalam siklus lama: yang berkuasa akan terus berkuasa, bukan karena prestasi, tetapi karena posisi. Pada akhirnya, keberadaan Incumbent seharusnya menjadi simbol keberlanjutan dan stabilitas, bukan alat mempertahankan kekuasaan semata. Demokrasi yang sehat menuntut keseimbangan antara hak individu untuk maju kembali dan hak publik untuk mendapatkan kompetisi Politik yang adil dan bermartabat. Baca juga: SIMPAW : Aplikasi KPU dibalik Administrasi Penggantian Antar Waktu (PAW)

Sistem Noken di Tanah Papua : Antara Budaya dan Sistem Demokrasi Modern Yang Dijalankan di Indonesia

Negara Indonesia sangat familiar dengan negara yang memiliki beraneka ragam adat istiadat, budaya, dan juga sukunya. Keanekaragaman ini juga terlihat dalam bidang politik dan demokrasi yang terjadi pada masyarakat saat melakukan pemilihan umum. Diantara contoh yang unik berada di Papua yaitu sistem pemilihan noken. Sistem ini melambangkan prinsip tradisi dan juga budaya dapat bersanding dengan sistem politik dan demokrasi yang telah dijalankan di Indonesia. Tetapi, dari sudut pandang lainnya sistem pemilihan noken juga memicu perdebatan mengenai keterbukaan dan juga legalitas suara masyarakat pada pemilihan umum. Apa Sih Sistem Pemilihan Noken Itu? Sistem Pemilihan Noken adalah prosedur khusus masyarakat yang berada di tanah Papua dalam menyampaikan hak pilihnya dalam pemilihan umum. Istilah Noken sendiri berasal dari sebutan tas tradisional masyarakat tanah Papua yang dibuat menggunakan serat kulit dari kayu yang dianyam dan berfungsi untuk membawa barang kebutuhan sehari hari. Dalam sistem pemilihan, istilah noken bermakna sebagai simbol tempat bagi suara rakyat. Pada sistem pemilihan noken, metode yang digunakan berbeda dengan yang digunakan pada umumnya di daerah lain dengan melakukan pemilihan di bilik suara, namun dengan cara kepala suku atau tokoh adat yang dipercaya mewakili sekaligus mengumpulkan suara masyarakatnya, lalu semua suara dimasukkan kedalam tas noken sebagai wujud persetujuan bersama. Sistem pemilihan ini juga dikenal dengan demokrasi komunal, lantaran keputusan yang diambil yaitu berdasarkan musyawarah adat dan keyakinan terhadap pemimpin lokal, atau juga biasa disebut dengan keputusan secara kolektif. Bagaimana Asal Mula dan Sejarah Sistem Pemilihan Noken? Jauh sebelum Indonesia merdeka dan metode demokrasi modern diimplementasikan, sistem noken sudah ada. Sistem ini terbentuk dari kultur gotong royong dan keyakinan masyarakat kepada kepala suku atau pemimpin adat dalam pengambilan keputusan yang penting seperti dalam halnya politik, kesejahteraan, dan juga keamanan. Sisem ini biasa digunakan oleh kalangan masyarakat pegunungan Papua, misalnya pada Kabupaten Mamberamo Tengah, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Lany Jaya, dan Kabupaten Puncak Jaya. Pada saat metode pemilihan umum secara modern diimplementasikan secara nasional selepas kemerdekaan Indonesia, masyarakat di daerah terpencil Papua mengalami kendala dalam memahami prosedur pemungutan suara secara langsung. Aspek yang menjadi kendala dalam penggunaan sistem demokrasi modern adalah keadaan geografis, tingkat pengetahuan yang masih kurang mumpuni untuk memahami tentang sistem pemilihan modern, dan juga keterbatasan distribusi menjadikan realisasi pemungutan suara secara langsung sulit untuk dilangsungkan di beberapa daerah. Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan hal ini, masyarakat tetap bertumpu pada sistem tradisional yang sudah biasa mereka lakukan, yaitu menggunakan musyawarah untuk memutuskan pilihan secara bersama. Dari adanya kendala ini lah Sistem Noken tercipta dan bertahan sampai saat ini. Pada tahun 2009, Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan sistem ini sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi berdasarkan kearifan lokal melalui Putusan MK Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009. Sejak disahkannya Sistem Noken oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sistem Noken mendapatkan pengakuan secara resmi oleh negara, apabila pelaksanaannya dilakukan dengan dasar kesepakatan bersama dan tanpa adanya paksaan. Apa Makna Filosofis Dibalik Noken? Noken bukan hanya sekadar tas anyaman saja bagi masyarakat Papua. Namun bermakna filosofis yang sangat mendalam. Pada kehidupan keseharian, noken menjadi lambang rahim seorang ibu – tempat dimana lahir dan bertumbuh kembangnya kehidupan. Noken dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membawa hasil bumi, bayi, terlebih noken ini dijadikan sebagai lambang perdamaian dan persatuan. Oleh sebab itu, saat Noken dipakai dalam pemilihan umum, Noken ini dijadikan sebagai simbol wadah suara rakyat, lambang persatuan, dan juga sebagai perjanjian untuk memilih sosok pemimpin bersama. Pada noken ini juga menampilkan nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan kepercayaan antar sesama. Keputusan bersama dalam pandangan masyarakat adat Papua jauh lebih dianggap berharga daripada keputusan perseorangan. Inilah yang menggambarkan mengapa masyarakat dengan ikhlas mempercayakan suaranya kepada kepala suku atau tokoh adat. Apa Saja Bentuk dan Jenis Sistem Noken? Pada umumnya, sistem Noken yang ada di Papua memiliki dua sistem utama yang sudah disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Mahkamah Konstitusi (MK) : Sistem Noken Bigman (Perwakilan Kepala Suku atau Tokoh Adat) Pada sistem ini, masyarakat memberikan seluruh kepercayaan suaranya kepada kepala suku atau tokoh adat. Kemudian kepala suku atau tokoh adat akan memberikan suaranya kepada calon atau partai tertentu yang dianggap mewakili kepentingan bersama. Sistem ini membuktikan bahwa tingginya kepercayaan masyarakat kepada kepala suku atau tokoh adat, dan keputusan yang sudah diputuskan akan dianggap sah karena diputuskan secara musyawarah. Sistem Noken Komunal (Kemufakatan Bersama) Dalam sistem ini, masyarakat secara bersama-sama akan berdialog dan bermusyawarah untuk memilih calon pilihan. Selepas semua setuju, hasil yang telah ditentukan akan dimasukkan kedalam noken sebagai lambang kesatuan suara. Metode ini diyakini lebih demokratis karena mengikutsertakan seluruh masyarakat secara langsung dalam pengambilan keputusan. Apa Dasar Hukum Sistem Noken Yang Ada di Indonesia ? Walaupun sistem Noken tampak berbeda dari metode pemilu nasional, negara telah memberikan legalitas yang kuat terhadap keberadaannya. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang merupakan fondasi antara lain: Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, yang menekankan bahwa sistem Noken merupakan bentuk realisasi hak politik masyarakat berlandaskan kearifan lokal. Bagaimana Sistem Noken Dalam Pandangan Demokrasi Modern? Dalam demokrasi modern memfokuskan pada prinsip one man, one vote atau satu orang memiliki satu suara yang sama. Pada sistem Noken, pada dasarnya dapat diartikan kedalam bentuk bersama-sama, dimana suara perseorangan digabungkan menjadi satu suara bersama. Pada perspektif modern, sistem ini mungkin dipandang tidak sejalan dengan semangat demokrasi liberal yang memfokuskan kebebasan perseorangan. Tetapi, apabila dari konteks tradisi di Papua, sistem ini sebetulnya mewakili demokrasi yang tertanam pada nilai-nilai masyarakat dan kebersamaan. Oleh karena itu, sistem Noken bukanlah wujud kemunduran demokrasi, tetapi penyesuaian demokrasi kepada realitas kehidupan sosial dan budaya lokal. Sistem ini telah menjadi bukti bahwa demokrasi di Indonesia tidak bersifat seragam, melainkan dapat menyesuaikan dengan keanekaragaman masyarakatnya. Apa Kendala Yang Ada Dalam Pelaksanaan Sistem Noken? Walaupun sitem Noken memiliki legalitas hukum, sistem ini tetap memiliki tantangan, baik dari segi teknis dan juga prinsipil. Keterbukaan dan Keabsahan Suara Salah satu kendala adalah potensi terjadinya penyalahgunaan suara, karena pada sistem ini dilakukan secara kolektif tanpa adanya pencoblosan secara langsung oleh perseorangan. Pengawasan yang sangat minim pada daerah terpencil sering kali mengalami kendala verifikasi suara yang sebenarnya. Kebebasan Perseorangan Pada sistem ini, oleh beberapa pihak dinilai mengurangi kebebasan perseorangan untuk menentukan pilihannya sesuai hati nurani dikarenakan keputusan diambil oleh kepala suku atau tokoh adat. Digitalisasi dan Pembaharuan Pemilu Dengan adanya perkembangan zaman dan berdampak juga pada sistem pemilu yang ada di Indonesia, sistem Noken mengalami hambatan dalam menyesuaikan. Dengan daerah dengan infrastruktur yang terbatas dan juga daerah yang terpencil, menjadikan penerapan teknologi pada pemilu sulit untuk diterapkan. Rekayasa dan Paksaan Politik Sistem Noken, dalam beberapa kasus juga rawan untuk dipergunakan dengan tidak semestinya oleh orang yang menunggangi pengaruh kepala suku atau tokoh adat untuk kepentingan politik. Bagaimana Upaya Untuk Mempertahankan Keseimbangan Antara Tradisi dan Demokrasi? Untuk mempertahankan keberlangsungan sistem Noken tanpa mempertaruhkan prinsip demokrasi, perlu adanya berbagai tindakan yang penting: Pendidikan Politik Kepada Masyarakat Adat Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) penting untuk memberikan edukasi politik yang menyeluruh agar masyarakat dapat paham pentingnya keterlibatan perseorangan dalam demokrasi tanpa harus mengabaikan nilai kebersamaan. Pengawalan Oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadirnya penyelenggara pemilu di lapangan sangat penting untuk menjamin bahwa sistem Noken dilaksanakan secara terbuka dan tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Tugas Kepala Suku atau Tokoh Adat Sebagai Pendamping, Bukan Sebagai Penentu Satu-satunya Kepala suku atau tokoh adat berperan sebagai koordinator yang memandu masyarakat dalam proses pemilihan, bukan sebagai pengambil keputusan satu-satunya. Penyempurnaan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta pemerintah harus menegaskan prosedur hukum sistem Noken agar tetap menghormati tradisi lokal tetapi masih sesuai dengan aturan demokrasi universal. Dengan adanya tahapan tersebut, dapat diharapkan sistem Noken bisa tetap diberlangsungkan sebagai warisan budaya sekaligus dapat menjadi contoh pelaksanaan demokrasi khusus yang ada di Indonesia. Apa Saja Nilai-Nilai Demokrasi Yang Ada Pada Sistem Noken? Walaupun mempunyai perbedaan bentuk, sistem Noken sebenarnya mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang utama: Keadilan Sosial, dikarenakan setiap masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut serta dalam kesepakatan bersama. Persatuan dan kerja sama, karena keputusan yang diambil digunakan untuk kepentingan bersama, bukan perseorangan. Musyawarah dan mufakat, yang dijadikan inti dari semua keputusan. Kepercayaan kepada pemimpin, sebagai validitas sosial yang diterima masyarakat. Oleh karena itu, sistem Noken dapat dimengerti sebagai demokrasi yang berlandaskan adat, dimana keputusan yang diambil bukan dari suara terbanyak, akan tetapi melalui kesepakatan yang melindungi kerukunan sosial. Sistem Noken di Papua adalah contoh bentuk nyata bagaimana tradisi dapat berdampingan dengan sistem demokrasi modern. Sistem Noken bukanlah hanya sistem pemilihan, namun juga sebagai lambang kebersamaan, kepercayaan, dan juga persatuan masyarakat Papua. Meskipun banyak rintangan yang harus dihadapi, mulai dari isu keterbukaan sampai digitalisasi pemilu. Sistem Noken akan tetap menjadi bagian yang penting dari wajah demokrasi Indonesia yang beragam. Keberadaan sistem Noken ini mengingatkan bahwa demokrasi tidak harus sama, tetapi juga bisa menyesuaikan dengan nilai, karakter, dan tradisi masyarakat setempat. Selama sistem ini dijalankan dengan kejujuran, kesepakatan bersama, dan juga tanpa adanya paksaan, sistem Noken ini akan tetap menjadi perwujudan dari Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua).

TPS: Ujung Tombak Demokrasi di Hari Pemilihan

TPS adalah suatu tempat atau lokasi yang telah disediakan untuk pemilih untuk memberikan suaranya saat pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan, seperti pemilihan presiden, legislatif, atau kepala daerah. TPS yang dimaksud adalah Tempat Pemungutan Suara. Setiap kali pemilihan umum digelar, suasana Indonesia berubah menjadi lebih hidup. Dari pusat kota hingga daerah terpencil, warga berdatangan menuju TPS untuk menyalurkan hak mereka. Di tempat inilah, jutaan suara rakyat disatukan dan menjadi dasar arah kepemimpinan bangsa ke depan. TPS bukan sekadar tenda sederhana yang berdiri di halaman sekolah atau balai warga. Lebih dari itu, TPS adalah wujud nyata dari pelaksanaan kedaulatan rakyat yang menjadi tempat di mana prinsip demokrasi dijalankan melalui tindakan nyata yaitu memberikan suara.. Apa itu TPS ? Secara resmi, TPS (Tempat Pemungutan Suara) merupakan lokasi yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk kegiatan pemungutan suara. TPS dibangun di berbagai titik agar mudah dijangkau oleh masyarakat. Dalam satu TPS, umumnya terdaftar maksimal 300 pemilih. Jumlah tersebut ditetapkan agar proses pemungutan dan penghitungan suara berjalan tertib serta efisien. Lokasi TPS biasanya dipilih di area publik yang strategis, seperti sekolah, balai desa, atau lapangan terbuka. Keberadaan TPS memastikan setiap warga negara yang memiliki hak pilih dapat berpartisipasi tanpa kesulitan. Melalui sistem ini, asas “satu orang, satu suara” benar-benar dijalankan dalam praktiknya.  Apa Fungsi dan Peran TPS dalam Pemilu ?  TPS memiliki fungsi vital dalam penyelenggaraan pemilu, Fungsi TPS tidak berhenti pada penyediaan lokasi pemungutan suara melainkan di sanalah proses demokrasi berjalan secara langsung dan transparan. Beberapa peran penting TPS antara lain: Menjadi wadah penyaluran hak pilih. Setiap warga negara berhak memberikan suaranya secara bebas dan rahasia. Menjamin keterbukaan proses pemilu. Pemungutan serta penghitungan suara dilakukan secara terbuka, dapat disaksikan masyarakat dan saksi partai. Menegakkan prinsip keadilan. Dengan adanya pengawas dan saksi, setiap suara dipastikan dihitung secara jujur dan akurat. Oleh sebab itu maka berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada keberlangsungan setiap TPS yang berdiri di seluruh wilayah negeri. Siapa saja Petugas TPS ? Di balik kelancaran proses pemilihan, ada kerja keras Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Mereka adalah tim yang bertanggung jawab langsung atas jalannya pemungutan dan penghitungan suara di lapangan. Satu TPS biasanya dijalankan oleh tujuh orang petugas KPPS, masing-masing dengan tugas spesifik seperti memeriksa daftar pemilih, membagikan surat suara, hingga menghitung hasil secara terbuka. Selain KPPS, hadir pula petugas Linmas (Perlindungan Masyarakat) yang menjaga keamanan di sekitar TPS, serta saksi dari partai politik dan pengawas pemilu dari Bawaslu yang memastikan jalannya proses sesuai ketentuan. Petugas-petugas ini bekerja sejak pagi hingga malam, memastikan setiap suara terdata dengan benar. Apa saja Proses pada Hari Pemungutan Suara di TPS ? Kegiatan di TPS dimulai sekitar pukul 07.00 pagi waktu setempat. Pemilih datang membawa KTP dan surat undangan (formulir C6) untuk diverifikasi datanya oleh petugas. Setelah dinyatakan sesuai dengan daftar pemilih tetap, mereka menerima surat suara. Langkah berikutnya menjadi momen inti dari proses pemilu: Pemilih masuk ke bilik suara untuk mencoblos pilihannya secara rahasia. Surat suara yang telah dicoblos dimasukkan ke dalam kotak suara yang tersegel. Jari pemilih diberi tinta khusus sebagai tanda telah menggunakan hak pilihnya. Setelah waktu pemungutan berakhir, umumnya pada pukul 13.00, TPS ditutup dan proses dilanjutkan dengan penghitungan suara secara terbuka. Hasil penghitungan kemudian dituangkan dalam formulir resmi dan ditempel di area TPS agar dapat dilihat masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu sangat bergantung pada keterbukaan di TPS. Oleh sebab itu, setiap tahapan mulai dari pembagian surat suara hingga pencatatan hasil akhir dilakukan di bawah pengawasan bersama. Formulir hasil penghitungan suara diumumkan di tempat umum agar masyarakat bisa membandingkan hasil tersebut dengan data yang diumumkan di tingkat kecamatan maupun nasional. Prosedur ini menjadi upaya penting dalam mencegah kecurangan dan menjaga keaslian suara rakyat Apa Tantangan yang dialami TPS di Lapangan ? Meskipun tampak sederhana, pelaksanaan pemungutan suara di TPS sering kali dihadapkan pada berbagai hambatan. Beberapa kendala yang kerap muncul antara lain: Akses geografis sulit, terutama di wilayah pegunungan dan kepulauan. Cuaca ekstrem yang dapat menghambat pendistribusian logistik pemilu. Kurangnya pengalaman petugas, khususnya di daerah dengan sumber daya manusia terbatas. Potensi konflik politik lokal yang membutuhkan pengamanan ekstra. Dalam hal ini, KPU berupaya mengatasi persoalan tersebut melalui pelatihan petugas, perbaikan sistem logistik, serta penggunaan teknologi informasi untuk mempercepat pelaporan hasil pemungutan suara. TPS sebagai Cerminan Demokrasi Bangsa Keberadaan TPS merupakan gambaran nyata kedewasaan politik masyarakat Indonesia. Di tempat inilah rakyat belajar menjalankan hak dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, serta memahami bahwa setiap suara memiliki arti besar bagi masa depan bangsa. TPS bukan sekadar sarana teknis pemilu, melainkan ruang pertemuan antara rakyat dan negara. Dalam kotak suara yang sederhana, tersimpan harapan besar terhadap pemerintahan yang lebih baik dan adil bagi semua Setiap kali pemilu digelar, ribuan TPS berdiri serentak dari Sabang hingga Merauke. Di balik meja lipat, tenda sederhana, dan tinta biru di jari pemilih, tersimpan makna besar tentang perjuangan rakyat dalam menjaga demokrasi di Indonesia. Selama masyarakat masih datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya dengan sadar, demokrasi Indonesia akan terus hidup. Sebab dari tempat kecil itulah, suara rakyat disatukan menjadi kekuatan besar yang menentukan arah masa depan bangsa ini. Baca juga: Hak pilih dalam Konteks Demokrasi dan Pemilu